Kamis, 16 Desember 2010

Sejarah Garuda Pancasila

Sebagai bangsa Indonesia kita tentunya telah tahu lambang Negara kita. Namun apakah kita benar-benar mengenal lambing tersebut? Jika ditanya lambing Negara kita apa, tentu kita bisa menjawabnya. Namun apakah kita bisa menjawab dengan benar apa nama lambing Negara kita? Siapa perancang /menggambar lambing Negara itu? Bisakah anda menjelaskan secara detail lambang-lambang yang terkandung di dalamnya? Marilah kita mulai satu per satu.

Selasa, 02 November 2010

PERANAN TUBAN MASA KOLONIALISME SAMPAI MASA REVOLUSI

Kolonialisme Belanda-Jepang
Masuknya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) ke Nusantara pada Abad ke-17 semakin mendominasi wilayah-wilayah yang ada di Nusantara. VOC terus-menerus membangun perbentengan di daerah pusat-pusat perdagangan. Kemampuan VOC dalam membuat perjanjian dengan pemimpin-pemimpin local, menjadikan para pemimpin tersebut ketergantungan dengan VOC, baik secara politik, ekonomi maupun militer. Hal ini tentu juga merubah status politik suatu kota dan pada tahap berikutnya akan berimbas pula pada status ekonomi.

Islamisasi di Tuban

Belum dapat diketahui secara pasti, pengaruh Islam masuk kewilayah Tuban. Berdasarkan Babad Tuban, Islam masuk antara kurun waktu 1432-1450, ditandai ketika Harya Dhikara (1432-1450) sebagai Bupati Tuban memeluk agama Islam. Sedangkan berdasarkan berita dari China yang ditulis oleh Ma Hua dalam sebuah pelayaran pada tahun 1413-1415, di pesisir Tuban telah terdapat orang-orang muslim dari barat, jawa dan tiong-hua. Mengingat besarnya peran pedagang dalam menyebarkan Islam, maka dapat diperkirakan pada 1413 Islam sudah masuk di Tuban.

PERANAN TUBAN PADA MASA KERAJAAN HINDU-BUDHA

Kabupaten Tuban pada jaman dulu lebih dikenal dengan nama Kambang Putih adalah salah satu daerah yang menorehkan catatan penting dalam sejarah nasional Indonesia, bahkan dunia. Letak geografis Kambang Putih di jalur pantai utara Jawa menjadikan wilayah ini menjadi jalur lalulintas perdagangan tempo dulu. Oleh karena itu, Kambang Putih merupakan bekas bandar tua yang pernah membuka diri sebagai tempat persinggahan bagi pedagang-pedagang sejak jaman kerajaan Medang sampai Mataram Islam.
Tuban sebagai kota pelabuhan, memiliki karekteristik yang terbentuk dari kontak dengan dunia luar terkait perannya sebagi jalur lalulintas perdagangan dunia. Tuban sanggup kokoh melintasi waktu yang begitu panjang yaitu mekarnya Medang 1019 sampai kerajaan Mataram Islam 1619.

Hari Jadi Tuban

ASAL USUL KOTA TUBAN

Sebuah daerah di Indonesia seluruhnya memiliki sebuah nama seperti halnya manusia. Hutan, sungai, daerah pertanian, air terjun, jurang, kota, desa dan lembah semua memiliki nama. Penamaan sebuah daerah di Indonesia di dasarkan pada adanya sebuah tempat terkenal di daerah tersebut, Selain itu juga didasarkan pada sebuah tanaman di sebuah daerah, dan semua itu dikaitkan dengan sebuah legenda yang terjadi di daerah itu.
Pemberian nama Tuban didasarkan pada beberapa hal, yaitu Legenda, Ciri khas daerah Tuban, Tanaman khas yang terdapat di daerah Tuban. Pertama legenda, kisah legenda yang diangkat terjadi pada masa kerajaan Majapahit. Ketika itu Kerajaan Majapahit sedang jatuh ke tangan Raden Patah Sultan Demak, Benda-benda beharga kerajaan Majapahit semua dipindahkan ke Demak. Ketika proses pemindahan, seluruh kekayaan berupa emas dan benda pusaka telah diangkut menggunakan kereta kuda. Namun, dari sekian banyak benda rampasan terdapat dua batu pusaka yang tertinggal, dan seluruh prajurit tidak mampu membawa batu tersebut. Maka, Raden Patah kemudian meminta bantuan burung bangau untuk memindahkan batu pusaka itu. Batu pusaka kemudian dibawa terbang burung bangau menuju Demak. Ketika terbang melintas di daerah pesisir, terdapat anak-anak gembala yang melihat burung bangau itu terbang sangat aneh, kemudian anak-anak gembala mengejek burung bangau. Burung bangau marah karena ejekan tersebut, sehingga burung bangau kehilangan konsentrasi dan kemudian batu pusaka tersebut di wilayah itu. Wilayah tempat jatuhnya batu pusaka itu kemudia dinamakan dengan Tuban, Kepanjangan dari waTu tiBan (Batuh Jatuh). Selain cerita bangau yang menjatuhkan batu pusaka dari Majapahit ke Demak, nama Tuban juga di dasarkan pada cerita pendirian wilayah Tuban. Cerita ini dimulai ketika Raden Arya Dandang Wacana membuka hutan Papringan untuk dijadikan kadipaten baru, secara tidak sengaja kemudian keluar sumber air sangat deras, Kemudian, tempat itu dinamakan Tuban dari asal kata meTu Banyu (Keluar Air).
Secara etimologi Tuban berasal dari kata tuban (bahasa kawi) yang artinya Jeram. Menurut S. Prawiroatmojo dalam Bausastra Jawa Indonesia berarti air lata, air terjun. Nama ini dicetuskan karena adanya beberapa air terjun di daerah Kabupaten Tuban, seperti air terjun Nglirip Kecamatan Singgahan, air terjun Banyulase Kecamatan Semanding, sementara air lata terdapat di Ngerong Kecamatan Rengel. Keseluruhan tempat tersebut merupakan pusat keramaian daerah Tuban pada masa kerajaan dan Rengel menjadi pusat pemerintahan sebelum dipindahkan ke daerah Tuban sampai saat ini. Hal itu di dasarkan pada penemuan benda-benda bersejarah di daerah Ngerong Kecamatan Rengel berupa Arca Nandhim dan Arca Matahatula yang merupakan ciri dari Kerajaan Singosari. Selain itu di Rengel juga ditemukan Prasasti Malenga dan Banjaran yang berangka 1052 Masehi. Rengel sebagai pusat keramaian juga dikuatkan dengan letak Geografis daerah itu. Rengel terletak di tepi Bengawan Solo yang pada jaman dulu merupakan sarana perhubungan utama. Di Rengel juga terdapat persawahan yang subur.
Menurut Drs. Soekarto Tuban berasal dari kata “tubo” yaitu sejenis tanaman yang bisa dijadikan racun. Arti kata “tubo” juga sama dengan Arti dari nama daerah disebelah barat Tuban, yaitu Jenu. Dengan demikian Tuban ada kaitannya dengan Jenu.

HARI JADI TUBAN

Kabupaten Tuban pada zaman kerajaan merupakan daerah penting, karena tuban merupakan daerah pelabuhan besar pada masa itu. Disisi lain daerah tuban juga melahirkan pejuang-pejuang kerajaan, Mulai dari kerajaan Jenggala sampai kerajaan Majapahit. Karena, wilayah tuban sangat penting bagi kerajaan yang ada di Jawa Timur, maka banyak pula bukti-bukti sejarah menceritakan keberadaan wilayah ini pada masa lampau. Bukti-bukti sejara yang ditemukan kemudian dijadikan acuhan dalam menentukan hari jadi kota tuban.
Bukti-bukti sejarah yang dijadikan acuhan dalam menentukan hari jadi Kabupaten Tuban diantaranya adalah; Prasasti, naskah-naskah kuno dan berita dari asing (China). Prasasti, prasasti yang ditemukan di wilayah tuban antara lain Prasasti Kambang Putih, Prasasti Malenga, tertulis 974 saka atau 21 Agustus 1052, Prasasti Banjaran(bertuliskan angka 974 saka atau 31 Agustus 1052, dan Prasasti Tuban (I dan II berangka 1355). Naskah-naskah Kuno yang menceritakan tentang tuban yaitu Kidung Ranggalawe pupuh XXV/22 dan 23, Kidung Harsya Wijaya, Piagam Kudadu, Piagam Penanggungan (1296) dan Kitab Pararaton. Sedangkan berita asing yang menceritakan tentang keberadaan Tuban adalah Berita China oleh Ma Hua dalam buku Ying Yai Shing Lan karya Ma Hua.
Dari sumber-sumber yang ditemukan, sumber yang digunakan dalam menentukan hari jadi Kota Tuban adalah Kidung Ranggalawe pupuh XXV/22,23, Kidung Harsa Wijaya dan Piagam Kudadu. Kidung Ranggalawe pupuh XXV 22 menceritakan tentang kepulangan Ranggalawe dari Madura ke Tuban, Sedangkan pupuh XXV 23 menceritakan bahwa ketika pengangkatan Raden Wijaya diikuti pula pengangkatan tujuh pengikut setianya, salah satunya adalah Ronggolawe. Kidung Harsa Wijaya menceritakan tentang pengangkatan raden Wijaya menjadi Raja Majapahit yaitu pada 12 November 1293 beserta para punggawa-punggawa. Kisah pada Kidung Harsa Wijaya kemudian diperkuat dengan adanya Piagam Kudadu yang berisikan tentang punggawa-punggawa Majapahit.
Punggawa-punggawa Majapahit yang tertulis pada Piagam Kudadu tidak terdapat nama Ranggalawe. Dari tiga Rakaian Menteri (Adipati Manca Nagara) yang disebut adalah Pranaraja, Arya Adikhara, Arya Wiraraja. Mengingat jasa Ranggalawe seharusnya beliau mendapatkan jabatan di Majapahit. Namun, berdasarkan beberapa sumber yang ada, Nama Ranggalawe adalah nama pemberian dari Raden Wijaya atas jasa-jasa yang telah dibuatnya. Nama Ranggalawe sebenarnya adala Arya Adikhara, hal ini disebutkan di Kidung Pararaton dan Kidung Ranggalawe.
Penentuan 12 November 1293 M sebagai hari jadi Tuban telah sesuai jika dibandingkan dengan tanggal-tanggal yang ada pada sumber-sumber yang lain. Karena Tuban disini sudah sebagai wilayah yang setara dengan kabupaten. Tokoh yang diangkat, yakni Ronggolawe merupakan tokoh bersejarah yang dianggap oleh Masyarakat Tuban sebagai seorang pahlawan.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Sex dalam Tradisi Jawa

Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai makhluk indah yang dengan kecantikannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan. Menurut falsafah Jawa, perempuan adalah bumi yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman. Perempuan adalah bunga yang indah, menebarkan bau harum mewangi dan membuat senang siapa saja yang melihatnya. Wanita ideal dalam budaya Jawa digambarkan panyandra. Panyandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan, dan kehalusan melalui ibarat.

Selasa, 05 Oktober 2010

Pawon dalam Budaya Jawa

Dalam hidup orang Jawa dikenal adanya tiga ungkapan yang sangat penting yaitu sandang, pangan, dan papan. Artinya, dalam hidup manusia Jawa memerlukan tiga hal yang sangat penting yaitu: sandang (pakaian) untuk membalut tubuh supaya terlindung dari kedinginan, kepanasan, dan untuk estetika; pangan (makan) adalah makanan yang harus ada untuk dimakan sebagai syarat untuk bertahan hidup; dan papan (rumah atau omah) sebagai tempat berteduh atau tempat tinggal. Ketiga unsure budaya tersebut (sandang, pangan, dan papan) merupakan simbol penting dalam kehidupan orang Jawa. Di dalam budaya Jawa terdapat anggapan

Jumat, 01 Oktober 2010

Pancasila Sebagai Dasar Negara

Melalui karyanya yang berjudul Nomoi (The Law), Plato berpendapat bahwa “suatu negara sebaiknya berdasarkan atas hukum dalam segala hal”. Begitu pula Aristoteles. Senada dengan Plato, ia menuliskan pandangannya mengenai signifikansi basis hukum dalam suatu negara. Ia berpandangan bahwa “suatu negara yang baik adalah negara yang diperintahkan oleh konstitusi dan berkedaulatan hukum”.

Sebagai suatu ketentuan yang mengikat, norma hukum itu memiliki sifat yang berjenjang atau bertingkat. Artinya, suatu norma hukum akan berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan bersumber lagi pada norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma dasar/norma yang tertinggi dalam suatu negara yang disebut grundnorm. Dengan demikian grundnorm merupakan puncak dalam kesatuan tata hukum/norma-norma hukum yang berlaku di suatu negara. Norma-norma dasar inilah yang selanjutnya menjadi kerangka dasar dalam merumuskan masa depan (cita-cita dan tujuan) suatu negara.

Secara terminologi, istilah dasar negara terbentuk dari dua kata yaitu dasar dan negara. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata dasar berarti; (i) bagian yang terbawah; (ii) alas, pondamen; (iii) asas, pokok atau pangkal (suatu pendapat atau aturan, dsb). Sedangkan kata negara berarti: (i) persekutuan bangsa dalam satu daerah yang tentu batas-batasnya yang diperintah dan diurus oleh badan pemerintahan yang teratur; (ii) daerah dalam lingkungan satu pemerintah yang teratur. Apabila dikaitkan dengan negara, dasar negara dapat di artikan sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan penyelenggaraan ketatanegaraan negara yang meliputi berbagai bidang kehidupan.

Dasar negara merupakan suatu norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara, yang menjadi sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum (recht-idee), baik tertulis maupun tidak tertulis, dalam suatu negara. Cita hukum ini akan mengarahkan hukum pada cita-cita bersama dari masyarakatnya. Dalam suatu negara, cita-cita bersama ini sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Cita-cita ini mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat. Rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama ini diperlukan untuk menjamin ke¬ber¬samaan di suatu masyarakat, dalam kerangka kehidupan bernegara. Selanjutnya rumusan cita-cita bersama ini disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.

Di Indonesia, dasar negara yang disepakati adalah Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Pancasila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Pancasila dan tujuan negara tersebut dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Lahirnya dasar negara Pancasila tidaklah taken for granted, melainkan merupakan sebuah kesepakatan yang dibuat dengan melalui perdebatan yang tajam. Para pendiri negara dengan sangat cemerlang mampu memilih menyepakati pilihan yang pas tentang dasar negara sesuai dengan karakter bangsa, menjadi sebuah negara modern yang berkarakter religius, tidak sebagai negara sekuler juga tidak sebagai negara agama. Rumusan konsepsinya benar-benar diorientasikan pada dan sesuai dengan karakter bangsa. Mereka bukan hanya mampu menyingkirkan pengaruh gagasan negara patrimonial yang mewarnai sepanjang sejarah nusantara prakolonial, namun juga mampu meramu berbagai pemikiran politik yang berkembang saat itu secara kreatif sesuai kebutuhan masa depan modern anak bangsa.

Istilah Pancasila pertama kali disebut dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai filosofische grondslag, yaitu sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, yang di atasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah weltanschauung atau pandangan hidup.

Pidato Soekarno pada saat itu adalah salah satu dari rangkaian pandangan yang disampaikan dalam persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945. Dokumen inilah yang nantinya menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini, disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno dengan penyempurnaan, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.

Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai filosofische grondslag ataupun weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Pembukaan UUD 1945 itulah yang merupakan weltanschauung dan filosofische grondslag bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.

Sebagai pandangan hidup (weltanschauung), Pancasila berfungsi sebagai cita-cita atau idea yang semestinya harus selalu diusahakan untuk dicapai oleh tiap-tiap manusia Indonesia sehingga cita-cita itu bisa terwujud. Sebagai dasar negara (filosofische grondslag), Pancasila sebagai landasan dan panduan dasar dalam penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat. Pancasila adalah pedoman sekaligus filter yang membingkai penyelenggaraan negara dan perkembangan masyarakat. Sila-sila Pancasila menjadi panduan dalam segala pelaksanaan aktivitas negara dan masyarakat, termasuk didalamnya adalah panduan dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya dan lain sebagainya. Selain itu, sebagai bingkai hukum tertinggi, Pancasila juga sepatutnya menjadi rujukan utama proses pembuatan Undang-Undang. Pancasila juga harus dijadikan ukuran untuk menguji konstitusionalitas suatu Undang-Undang.
Pada dasarnya, karena kedudukan Pancasila sebagai filofische grondslag dan weltasshauuung, maka setiap warga negara berhak untuk menafsirkannya. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila sesungguhnya adalah sebuah ideologi terbuka, yang perlu untuk bersifat aktual, dinamis, antisifasif dan mampu adaptif terhadap perkembangan zaman. Keterbukaan ideologi pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya agar lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang selalu berkambang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek dan zaman. Sebagai ideologi terbuka, falsafah negara dapat terbuka karena hanya mengenai orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan normanorma politik-sosial seharusnya selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan cita-cita masyarakat lainnya. Ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan karenanya tidak dapat dipakai untuk melegitimasikan kekuasaan sekelompok orang.

Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa Orde Baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila, saat itu terposisikan sebagai alat hegemoni elit penguasa untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaannya. Armahedy Mahzar berpandangan bahwa salah satu penyebab utama timbulnya monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa adalah sebagai akibat dari diterapkannya Pancasila sebagai ideologi. Seharusnya Pancasila, demikian Mahzar, tidak boleh lagi menjadi sekadar ideologi politik negara, melainkan harus berkembang menjadi paradigma peradaban global. Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan kelompok masyarakat yang lainnya. Ini terlihat pada pandangan Koentowijoyo, Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto Danujaya, James Dananjaya, dan Asyari. Patut dicatat bahwa pendapat yang bertolak belakang tentang Pancasila itu muncul sebagai bagian dari kekecewaan terhadap perkembangan Pancasila selama ini, yaitu terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim pemerintah Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain, kedua kubu yang memberikan penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut masing-masing meletakkan analisisnya dalam kerangka evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti yang dipraktekkan pada jaman Orde Baru.

Persoalan ini tentu saja merupakan persoalan yang cukup serius. Untuk itulah, pada saat penafsiran Pancasila tersebut berada pada konteks kehidupan bernegara, maka diperlukan penafsiran yang mencerminkan konstitusi dan dibuat dengan mekanisme yang demokratis. Penafsiran Pancasila sebagai dasar negara, seharusnya tidak boleh diperumit oleh berbagai pemikiran teoritis oleh pendapat orang-perorang. Karena itu, satu satunya penafsiran yang benar adalah oleh dan dengan konstitusi. Dengan demikian dasar negara Pancasila ketika berfungsi sebagai pembentuk sistem, struktur, dan kultur bernegara terdapat dalam Undang Undang Dasar (UUD). Ini adalah kata kunci dalam melihat hal ini, sehingga tafsir di luar konstitusi hanyalah bagian dari diskursus yang dihormati tetapi tidak mengandung ikatan konstitusional.

Kamis, 30 September 2010

18 character leadership java

Asta Dasa Kotamaning Prabu atau 18 ilmu kepemimpinan Jawa dari jaman keemasan Kerajaan Majapahit di bumi Nusantara ini. Ke-18 prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut, yakni:
01. Wijaya | Seorang pemimpin harus mempunyai jiwa yang tenang, sabar dan bijaksana serta tidak lekas panik dalam menghadapi berbagai macam persoalan karena hanya dengan jiwa yang tenang masalah akan dapat dipecahkan;
02. Mantriwira | Seorang pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun;
03. Natangguan | Seorang pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan kehormatan;
04. Satya Bakti Prabu | Seorang pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan demi nusa dan bangsa;
05. Wagmiwak | Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan serta mampu menggugah semangat masyarakatnya;
06. Wicaksaneng Naya | Seorang pemimpin harus pandai berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat;
07. Sarjawa Upasama | Seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong, congkak, mentang-mentang jadi pemimpin dan tidak sok berkuasa;
08. Dirosaha | Seorang pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, pemimpin harus memusatkan rasa, cipta, karsa dan karyanya untuk mengabdi kepada kepentingan umum;
09. Tan Satresna | Seorang pemimpin tidak boleh memihak/pilih kasih terhadap salah satu golongan atau memihak saudaranya, tetapi harus mampu mengatasi segala paham golongan, sehingga dengan demikian akan mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakatnya untuk mensukseskan cita-cita bersama;
10. Masihi Samasta Buwana | Seorang pemimpin mencintai alam semesta dengan melestarikan lingkungan hidup sebagai karunia dari Tuhan/Hyang Widi dan mengelola sumber daya alam dengan sebaikbaiknya demi kesejahteraan rakyat;
11. Sih Samasta Buwana | Seorang pemimpin dicintai oleh segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya pemimpin mencintai rakyatnya;
12. Negara Gineng Pratijna | Seorang pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan, maupun keluarganya;
13. Dibyacita | Seorang pemimpin harus lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya;
14. Sumantri | Seorang pemimpin harus tegas, jujur, bersih dan berwibawa;
15. Nayaken Musuh | Seorang pemimpin harus dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada di dalam dirinya sendiri;
16. Ambek Parama Arta | Seorang pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum;
17. Waspada Purwa Arta | Seorang pemimpin selalu waspada dan mau melakukan mawas diri untuk melakukan perbaikan;
18. Prasaja | Seorang pemimpin supaya berpola hidup sederhana, tidak berfoya-foya atau serba gemerlap.

Rabu, 29 September 2010

Positivisme Logis

Positivisme ditegakkan di atas lima sumsi (yang dapat diasumsikan sebagai rukun imannya positivisme, yakni Logika, Empirisme, realitas, Reduksionisme, Determinisme, dan asumsi bebas nilai.

Rukun pertama, Logika empiris menyatakan bahwa proposisi hanya berarti apabila dapat diverifikasi dengan pengalaman indrawi. kita dapat menentukan apakah sebuah proposisi benar atau salah dengan menghubungkan proposisi itu pada pembuktian empiris. Proposisi"Jakarta itu panas" adalah proposisi yang berarti. it makes sense, karena kita dapat mengeceknya dengan datang ke Jakarta. Kita dapat merasakan udara panas itu atau memasang termometer di tempat terbuka. Banyak proposisi tidak dapat diverifikasi, karena itu proposisi-proposisi itu tidak berarti, not make sense,atau non sense. Di antara proposisi itu misalnya"korupsi itu jelek", "roh itu ada" dan "Tuhan itu ada. "tidak ada pembuktian inderawi (Sense Exprience) untuk menentukan apakah korupsi itu jelek atau baik, sama seperti sukar membuktikan secara empiris apakah tuhan itu ada atau tidak ada. Karena Filsafat seringkali mempersoalkan hal-hal yang metafisik-yang non-sensory-positivisme menolak untuk membicarakannya. Soal-soal metafisik hanyalah pseoudo-proposition yang tidak mempunyai makna. Problem yang dipikirkan pemikir-pemikir besar sepanjang sejarah sejak Plato, Aquinas, sampai Sartre dianggap bermakna dan karena itu harus ditinggalkan. Dengan begitu, semua wacana filosofis diruntuhkan. Alfred Jules Ayer berkata, "The traditional disputes of philosophers are, for the most part, as unwarranted as they are unfruitful."

Rukun kedua, realitas objektif, disebut juga realitas naif menyatakan bahwa hanya ada satu realitas yang dapat diketahui oelh pengalaman. Realitas fisikal, temporal dan sosial dapat diketahui melalui studi individual, walaupun hanya bersifat perkiraan. Bila cukup waktu dengan menggunakan metode yang benar penelitian dapat menggabungkan realitas perkiraan tersebut. Realisme melihat bahwa "dunia yang kita ketahui berada terlepas dari pengetahuan kita terhadapnya". Ada garis demarkasi antara dunia objektif yang dapat dipersepsikan oleh individu dalam kesendiriannya. Yang pertama adalah dunia ilmiah; yang kedua menghasilkan pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi secara publik. Yang mengetahui terpisah dari yang diketahui.

Rukun ketiga, reduksionisme, menyatakan bahwa kita dapat mengetahui dengan memecah-mecah dunia itu kepada satuan-satuan kecil. Melalui pengetahuan kita pada satuan-satuan kecil ini. secara induktif, kita dapat menggeneralisasikan kepada dunia lebih besar. Fenomena yang kompleks dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur yang kecil. Temperatur udara dapat diketahui dengan mengamati gerakan-gerakan molekul, perilaku manusia diketahui dengan meneliti stimulus dan respon, warna dapat diselidiki melalui panjang gelombang, pikiran diketahui melalui gelombang otak, cinta dan benci dianalisis dengan mengukur kompisisi kimiawi sekresi glandular. Lalu, bagaimana Tuhan bisa diketahui. Tuhan adalah "konsep" yang tidak bisa dioperasionalkan, karena itu tidak dapat diukur; karena itu pula tidak ada.

Rukun keempat, materialisme, menyatakan bahwa dunia ini diatur oleh hukum sebab akibat yang bersifat linier. Baik sebab maupun akibat terjadi pada dunia empiris. apapun yang terjadi sekarang, terjadi karena sebab-sebab yang mendahuluinya. Anda hadir dalam pengajian karena pengalaman yang mendahuluinya. Anda hadir dalam pengajian karena pengalaman masa kecil anda. laki-laki berperilaku agresif karena pengalaman evolusi biologis mereka. Perempuan memiliki kecenderungan untuk memelihara dan merawat anak, karena kelakuan itu sudah ditentukan dalam "kode genetik" mereka. Positivisme menegaskan determinisme, ilmu dapat meramalkan dan juga mengendalikan berbagai peristiwa di alam semesta. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin banyak hukum sebab akibat dari segala sebab, para ilmuwan memasukkan ke dalam sebab kecuali Tuhan.

Rukun kelima, asumsi bebas nilai, menyatakan bahwa karena peneliti dan yang diteliti terpisah maka setiap penelitian ilmiah selalu bebas nilai. Nilai bersifat subjektif, sedangkan dunia pengamatan bersifat objektif. Ketika Descrates memisahkan "jiwa"-yang diketahui lewat pengalaman subjektif dan "materi" yang menjadi objek kajian ilmu, para ilmuwan dilepaskan dari tanggungjawab dan nilai. Mereka memusatkan perhatian pada penelitian materi "materi" dan meyerahkan hal-ihwal "jiwa" seperti nilai, tujuan hidup, agama dan sebagainya-kepada para teolog, folosof, dan agamawan.

Minggu, 05 September 2010

Kontroversi rumusan Pancasila yang benar dan sah.

Tinjauan historis tentang Pancasila dan UUD 1945 yang lengkap telah dibukukan dengan judul “Lahirnya UUD 1945”, 2004 (direvisi tahun 2009). Buku tersebut meluruskan data dan catatan di “Naskah Persiapan UUD” susunan Prof.M.Yamin, dan meluruskan Risalah BPUPKI-PPKI tahun 1992 dan 1995 serta meluruskan isi Kata Pengantar Risalah Sidang BPUPKI-PPKI terbitan Sekretariat Negara, 1998. Sebab itu pada kesempatan ini saya hanya mengemukakan secara singkat beberapa kontroversi yang masih membara, dan berusaha untuk memaparkan konsistensi nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan negara. Kontroversi yang akan dikemukakan adalah tentang 6 “Pancasila” yang mengandung “nilai pokok” (core value) dan norma yang berlain-lainan yaitu: 1.Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, 2.Pancasila yang dirumuskan oleh “Panitia Delapan” dan “Panitia Sembilan” yang tercantum di alinea 4 Piagam Jakarta yang disusun pada tanggal 22 Juni 1945 dan kemudian disetujui oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 11 Juli 1945, 3. Pancasila yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai bagian Pembukaan UUD 1945, 4.Pancasila sebagai bagian dari Mukaddimah Konstitusi RIS dan 5.Pancasila yang tercantum sebagai bagian dari Mukadimah UUDS 1950, 6.Pancasila yang tercantum di Dekrit Presiden tahun 1959 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.

Kontroversi tentang rumusan Pancasila yang benar dan sah.
Pancasila adalah suatu komposisi dari nilai-nilai, bukan nilai-nilai yang terserak-serak tak beraturan. Rumusan “Pancasila 1 Juni” berbeda jauh dengan rumusan “Pancasila 18 Agustus” dalam hal hirarkhi norma (axiological hierarchy of norms). Penjelasannya demikian:
- Pancasila yang diucapkan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 dengan urutan: 1.Kebangsaan Indonesia, 2.Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, 3.Mufakat atau Demokrasi, 4.Kesejahteraan Sosial, dan 5.Ketuhanan Yang Maha Esa masih merupakan rancangan “philosophische grondslag” yang akan dirumuskan oleh “Panitia Delapan BPUPK” setelah mendapat masukan dari anggota BPUPK lainnya.
- Pada tanggal 22 Juni 1945, rancangan Pancasila “Panitia Delapan” disempurnakan oleh “Panitia Sembilan” dengan mengubah urutan nilai pokok (core values) menjadi: 1.Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2.Menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3.Persatuan Indonesia, 4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perubahan urutan itu menyebabkan perubahan mendasar, perubahan “axiological hierarchy”.
- Pancasila susunan “Panitia Sembilan” diresmikan oleh sidang BPUPK pada tanggal 11 Juli 1945 dengan urutan yang sama dengan urutan Pancasila di Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.
- Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mensahkan Pancasila dengan rumusan sebagai berikut: 1.Ketuhanan Yang Maha Esa, 2.Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3.Persatuan Indonesia, 4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan – perwakilan, 5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Rumusan Pancasila di Konstitusi RIS adalah sebagai berikut: 1.Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, 2.Peri Kemanusiaan, 3.Kebangsaan, 4.Kerakyatan dan 5.Keadilan Sosial.
- Rumusan Pancasila di UUDS 1950 sama dengan di Konstitusi RIS.

Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945. Pada tanggal 22 Juni 1945 “axiological hierarchy”-nya berubah, nilai moral, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam diangkat keatas, dijadikan Norma Utama (norma normarum). Setelah disetujui oleh rapat pleno BPUPK yang hanya terdiri dari wakil-wakil dari Jawa saja, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI yang meliputi wakil-wakil dari seluruh Indonesia mengubah rumusan Pancasila dengan mengurangi “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dan menambahkan “tiga kata” (“Yang Maha Esa”). Jadi, rumusan Pancasila yang sah adalah rumusan PPKI, rumusan dari wakil-wakil selurah rakyat Nusantara setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pancasila yang disahkan pada tangal 18 Agustus 1945 itu benar-benar merupakan “hogere optrekking” (istilah Bung Karno, artinya “peningkatan”) dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis karena yang diutamakan adalah moral yang berasal dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, kebaikan hukum positif harus diukur dari asas-asas yang bersumber kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan “Ketuhanan” saja.

Pancasila berbeda dengan teori Grundnorm dari Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum positif tidak perlu bersangkut paut dengan moral, ideologi, politik dan sejarah yang intinya berada diluar bidang hukum. Demokrasi Pancasila yang mengutamakan musyawarah untuk mendapat mufakat, mengutamakan “harmony”, berbeda dengan Demokrasi Liberal yang mengutamakan “voting” dan menimbulkan perasaan kalah dan menang yang sering menyakitkan hati.

Tentang “Nilai”, “Norma”, istilah Staatsfundamentalnorm dan Grundnorm.
“Nilai” dapat didefinisikan sebagai ukuran untuk “kebaikan” (goodness) atau “pemenuhan keinginan” (desirability). Norma memberi petunjuk umum tentang cara bertindak. “Nilai” dapat dikatakan sebagai “norma tinggi” (“higher order norms”). Tingkatan norma berbeda-beda, ada ditingkat Pembukaan UUD/Tingkatan yang lebih tinggi daripada di UUD, ada ditingkat UUD, dan ada ditingkat perundang-undangan lainnya.

“Nilai” masih abstrak, sifatnya lebih umum sedangkan “Norma” lebih khusus, sudah dapat dijatuhi sanksi hukum atau sanksi sosial bila dilanggar. Hubungannya dapat digambarkan demikian, “Nilai” “privacy” dapat menjadi ketentuan (norma) bahwa “surat tidak boleh dibuka oleh orang yang tidak berhak” atau adanya aturan (norma) bahwa “tidak boleh masuk rumah orang tanpa ijin pemiliknya”.

Penempatan “norma” ditingkat UUD atau undang-undang bersifat subjektif. Di Amerika Serikat, ketentuan yang tidak tertulis atau yang tercantum di undang-undang biasa diangkat ketingkat Konstitusi. Contoh, Amendemen V menegaskan perlunya asas Due Process, Amendemen VII menentukan “Exessive bail shall not be required, nor excessive fines imposed, nor cruel and unusual punishment inflicted,21 dan Amendemen XXVII (1992) menentukan bahwa perubahan “kompensasi” untuk anggota Congress berlaku untuk anggota Congress yang akan datang (No law varying the compensation for the services of the Senators and Representatives shall takes effect until an election of Representatives shall have intervened. Ketentuan itu dibuat agar tidak melanggar asas “nemo iudex in causa sua.

Istilah Staatsfundamentalnorm diperkenalkan oleh Prof.Notonagoro pada tahun 1955. Istilah “Staatsfundamentalnorm” digunakan oleh Notonagoro untuk menyatakan seluruh kaidah (norma) di Pembukaan UUD 1945. Notonagoro membedakan antara Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila tetapi tidak menyatakan mana yang dianggap sebagai Grundnorm. Hal itu terlihat dari pernyataannya bahwa: “Kebaikan hukum positif Indonesia termasuk (tubuh) UUD harus diukur dari asas-asas yang tercantum dalam Pembukaan. Dan karena itu Pembukaan dan Pancasila harus dipergunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia”. (lihat: Notonagoro,Pancasila Dasar Falsahah Negara, Jakarta, 1974:8). Istilah Grundnorm baru muncul tahun delapan puluhan dan sampai sekarang kita belum sepakat tentang arti istilah Grundnorm tersebut.

Pernyataan Notonagoro yang perlu dikritisi adalah “bahwa Pancasila hidup di tiga UUD, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950”. Pernyataan itu menimbulkan kontroversi seperti yang dikemukakan oleh Marsillam Simandjuntak, yaitu “mengapa Pancasila sebagai Grundnorm dapat menghasilkan norma yang berlainan, bahkan bertentangan”.
Pendapat Marsillam dikemukakan karena dia mengira bahwa Pancasila 1945 sama dengan Pancasila tahun 1949 dan/atau Pancasila 1950. Padahal, sebagaimana disebutkan diatas, “Pancasila” sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945 rumusannya berbeda dengan “Pancasila” yang tercantum sebagai bagian dari Mukaddimah Konstitusi RIS dan/atau Mukaddimah UUDS 1950. Tujuan Nasional-nya juga berbeda. Dengan sendirinya norma yang dikandungnya juga berbeda. Agar lebih jelas, tujuan Nasional di UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sedangkan tujuan Nasional di Konstitusi RIS dan UUDS 1950 sama yaitu untuk mewujudkan:
1. Kebahagiaan
2. Kesejahteraan
3. Perdamaian
4. Kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.

Sabtu, 04 September 2010

two stage revolution

TAK banyak buku atau risalah yang ditulis Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Selama 13 tahun bergerilya di hutan-hutan Tasikmalaya, ia memang membawa mesin tik sebesar meja. Tapi ia hanya menulis pikiran-pikirannya tentang cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia dalam bentuk pedoman dan artikel pendek, yang dimuat koran Fadjar Asia pada 1930-an.

Meski ada tujuh buku yang menghimpun buah pikirannya, setiap buku menyuarakan hal sama. Sementara Soekarno atau Tan Malaka merumuskan ideologinya secara runtut, bahkan lebih dari rumusan traktat akademik, tulisan-tulisan Kartosoewirjo lebih seperti propaganda. Kalimatnya lincah meski dengan nada rendah.
Dalam buku Haluan Politik Islam (1946), Kartosoewirjo membayangkan sebuah negara yang damai sentosa dan hukum Tuhan tegak mengatur hajat hidup orang banyak, dalam nama Negara Islam Indonesia. Untuk mencapainya, menurut dia, dibutuhkan dua tahap revolusi.

Tahap pertama adalah revolusi nasional, yaitu pengusiran penjajah dari bumi Indonesia. Revolusi ini selesai pada 1945 ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu, masuk revolusi tahap kedua, yakni “revolusi sosial”. Pada masa inilah Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan mencontoh perjalanan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad.

Ia menyamakan kondisi Mekah sebelum Nabi hijrah dengan Indonesia sebelum 1945: jahiliah, tak ada tuntunan, dijajah dan diperangi ideologi lain. Nabi pun hijrah ke Madinah untuk mencapai kegemilangan. Di Madinah umat muslim mencapai masa keemasan. Agar Indonesia sama seperti periode Madinah, menurut Kartosoewirjo, rakyat Indonesia juga harus hijrah di semua lini: politik, sosial, ekonomi.

Caranya dengan jihad fisabilillah, bukan jihad fillah atau jihad yang hanya mengekang hawa nafsu. Jihad itu, menurut Kartosoewirjo, harus dirumuskan dan dilakukan secara cermat di semua sektor. Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan yang sulit, dan bertempur dengan ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang. “Perang menghadapi negara Pancasila menjadi wajib hukumnya,” tulisnya dalam Perdjalanan Soetji Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah (1953).

Sebelum bisa berjihad dan hijrah, rakyat Indonesia harus beriman dulu, yakin bahwa hukum-hukum Allah adalah hukum terbaik untuk mengatur perikehidupan. Kartosoewirjo menyebut periode ini sebagai periode “revolusi individu”. Para cerdik cendekia seperti dia dan kadernya harus mendorong revolusi individu ini seraya melakukan revolusi sosial. Tiga konsep inilah-iman, jihad, hijrah-yang kemudian menjadi basis ideologi Darul Islam dalam mencapai Negara Islam Indonesia dan ia sebagai imamnya.

Kartosoewirjo selalu menghubungkan apa yang terjadi di Indonesia dengan peristiwa yang menyertai hijrah Nabi. Medio 1947, ketika mengumumkan “perang suci” menghalau Belanda, ia menyamakannya dengan proklamasi Nabi memerangi kaum Quraish. Begitu pula Revolusi Gunung Cupu pada 17 Februari 1948, dan terakhir proklamasi Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.

Ia percaya, peristiwa di zaman Nabi dan kejadian-kejadian yang dia alami bersama pengikutnya “sama-sama di luar dugaan dan perhitungan manusia”. Dalam Sikap Hidjrah (1936), Kartosoewirjo yakin rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan sukarela menerima negara Islam sebagai bentuk baru pengganti republik. Keyakinan yang terbukti keliru.

Jumat, 03 September 2010

Karena Takdir Karena Cinta

(Kepada "A.. :Juli 2005)

Bukan karena engkau cantik
Menjadikanku tertarik
Namun karena takdir membat cinta
Buktinya dia cantik aku tidak tertarik

Bukan karena aku tak laku
Menjadikan aku mengejar-ngejar kamu
Walaupun berulang kali kau dustai aku
Namun, karena cinta yang memilih kamu

Bukan karena sipa kita berpisah
Menjadikanku sengsara
Namun, karena takdir bicara
Buktinya engkau makin lengket sama dia

Bukan, karena aku tak tahu
Menjadikanku ragu
Namun, Karena cinta tak mengijinkan
Hatimu kulukai menuduh tanpa bukti

Bukan karena cemburu
Menjadi aku bertanya ragu
Tapi, karena takdir ingin membuka tabir
Kata-kata jujur keluar dari bibir

Kamis, 02 September 2010

Manusia ?

Hidup penuh pertanyaan teka-teki, demikianlah manusia. Tidak hanya bertanya tentang mahkluk selain dia, namun juga bertanya tentang manusia itu sendiri. Bukan gila jika ada pertanyaan sebenarnya kita ini siapa? Manusia ini apa?. Justru pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang menjadikan manusia itu ada. Manusia itu 90% berisikan cairan, tapi manusia itu bukanlah air, tapi manusia membutuhkan air. Hukum-hukum alam berlaku untuk manusia, hidup dan mati seperti tumbuhan dan hewan. Tapi manusia bukan tumbuhan atau hewan. Suatu ketika manusia dilahirkan ke dunia dan suatu saat mereka dijadikan mati. Manusia bukanlah roh, meskipun mahluk rohaniawan. Tapi yang perlu kita ingat manusia itu mahkluk yang berfikir, penuh pertimbangan, memutuskan dan berkehendak.

Manusia keheranan dengan keberadaannya dan berusaha mencari jawaban atas setiap pertanyaan. Berbagai pertanyaan manusia memunculkan banyak disiplin ilmu yang sampai saat ini ada dan dipelajari. namun semua dispilin ilmu yang khas itu hanya mampu menjawab segala pertanyaan yang bersifat dunia hayati saja. Ilmu-ilmu tersebut tidak cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia. Maka selain ilmu-ilmu hayat maka kemudian muncul yang dinamakan refleksi. Refleksi lebih bersifat pada kerohanian, setiap refleksi dikembalikan kepada masing-masing Individu, berdasarkan pengalaman-pengalaman masing-masing manusia. Dan itu pada akhirnya nanti akan mempengaruhi paham, keyakinan dan agama yang akan dijalani oleh manusia di dunia ini.

Banyak teori-teori yang muncul dari sebuah pertanyaan sepele dan menjadikan manusia itu semakin hidup. Hidup untuk dirinya sendiri dan juga hidup untuk orang lain. Dan saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Pertentangan antara baik dan benar atau hal-hal yang sama-sama benar. Segala bentuk pertentangan itu diarahkan pada jiwa dan tubuh manusia pribadi dan orang lain.

Pertentangan-pertentangan manusia menjadi sebuah dinamika tersendiri dan menjadikan manusia semakin dinamis. Kedinamisan manusia menimbulkan sebuah ikatan relasi dalam menjalankan setiap pemikiran untuk bekerja menuju pada tujuan bersama secara hayati. Semua bebas tanpa ikatan, bertanggungjawab atas dorongan metafisis.

Senin, 30 Agustus 2010

Revolusioner Kesepian

Dr Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner kesepian. Mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.

Hampir seabad lampau, pada 1912, gelar Datuk Tan Malaka disematkan kepada remaja bernama Ibrahim.

Ibra dilahirkan di sebuah surau-juga dijadikan tempat tinggal-yang cuma beberapa langkah dari rumah gadang. Kini surau itu tidak ada. Tanah tempat surau itu berdiri telah menjadi sawah.

Tak ada catatan resmi dan meyakinkan ihwal tanggal lahir Tan Malaka. Satu-satunya penulis yang lengkap menyebut waktu kelahirannya, yakni 2 Juni 1897, adalah Djamaluddin Tamim, teman seperjuangan Tan, dalam Kematian Tan Malaka. Ayah Tan, Rasad, berasal dari puak Chaniago, sedangkan ibunya, Sinah, berpuak Simabur. Ibra adalah sulung dari dua bersaudara. Adiknya bernama Kamaruddin, enam tahun lebih muda daripada sang kakak.

Ibra adalah potret bocah lelaki Minangkabau. Gemar sepak bola, main layang-layang, dan berenang di sungai. Selepas magrib dia mengaji, lalu tidur di surau. Anak lelaki, begitu kelaziman setempat, segan menginap di rumah ibunya. “Ibra seorang anak pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak pernah meninggalkan sembahyang. Ia hafal Quran,” kata Zulfikar, mengenang kesaksian Kamaruddin.

Pada 1907 Ibra terdaftar di Fort de Kock. Rudolf Mrazeck, penulis buku Tan Malaka, menyebut Fort de Kock adalah rantau pertama Ibra. Para tetua kampung melepasnya. Merantau adalah jiwa masyarakat Minangkabau. Seorang perantau diyakini bakal membawa nilai-nilai kebaikan yang ada di dunia luar sana. Sistem matrilineal, juga adat anak lelaki yang tidur di luar rumah, adalah sebagian instrumen yang mendorong lelaki yang beranjak dewasa segera “terusir” dari kampung.

Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk “Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…. Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”

Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan “masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu “uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.

Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.

Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer-dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.

Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. “Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.

Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.

Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. “Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.

Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, “Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.

Minggu, 22 Agustus 2010

Kado Terindah

Delapan macam kado ini adalah hadiah terindah dan tak ternilai bagi orang-orang yang Anda sayangi.

KEHADIRAN
Kehadiran orang yang dikasihi rasanya adalah kado yang tak ternilai harganya. Memang kita juga bisa hadir di hadapannya lewat surat, telepon, foto atau faks. Namun dengan berada di sampingnya, anda dan dia dapat berbagi perasaan, perhatian dan kasih sayang secara lebih utuh dan intensif. Jadilah kehadiran anda sebagai pembawa kebahagiaan.

MENDENGAR
Sedikit orang yang mampu memberikan kado ini. Sebab, kebanyakan orang lebih suka didengarkan, ketimbang mendengarkan. Dengan mencurahkan perhatian pada segala ucapannya, secara tak langsung kita juga telah menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Untuk bisa mendengar dengan baik, pastikan anda dalam keadaan betul-betul rileks dan bias menangkap utuh apa yang bisa disampaikan. Tatap wajahnya. Tidak perlu menyela, mengkritik, apalagi menghakimi. Biarkan ia menuntaskannya, ini memudahkan anda memberikan tanggapan yang tepat setelah itu. Tidak harus berupa diskusi atau penilaian. Sekedar ucapan manispun akan terdengar manis baginya.

DIAM
Seperti kata-kata, di dalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai
untuk menghukum, mengusir atau membingungkan orang. Tapi lebih dari
segalanya, diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang
karena memberinya ”ruang”. Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa
gemar menasehati, mengatur, mengkritik bahkan mengomel.

KEBEBASAN
Mencintai seseorang bukan berarti memberi kita hak penuh untuk memiliki atau mengatur kehidupan orang bersangkutan. Bisakah kita mengaku mencintai seseorang jika kita selalu mengekangnya? Memberi kebebasan adalah salah satu perwujudan cinta. Makna kebebasan bukanlah ”Kau bebas berbuat semaumu”. Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah memberinya kepercayaan penuh untuk bertangung jawab atas segala hal yang ia putuskan atau lakukan.

KEINDAHAN
Siapa yang tak bahagia, jika orang yang disayangi tiba-tiba tampil lebih ganteng atau cantik? Tampil indah dan rupawan juga merupakan sebuah kado yang indah. Selain keindahan penampilan pribadi, andapun bias menghadiahkan keindahan suasana di rumah. Vas dan bunga segar cantik di ruang keluarga atau meja makan yang tertata indah, misalnya.

TANGGAPAN POSITIF
Tanpa sadar, sering kita memberikan penilaian negatif terhadap pikiran, sikap atau tindakan orang yang kita sayangi. Seolah-olah tidak ada yang benar dari dirinya dan kebenaran mutlak hanya pada kita. Kali ini, coba hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Cobalah ingat, berapa kali dalam seminggu terakhir anda mengucapkan terima kasih atas segala hal yang dilakukannya demi anda. Ingat-ingat pula, pernahkah anda memujinya. Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian (dan juga permintaan maaf) adalah kado indah yang sering terlupakan.

KESEDIAAN MENGALAH
Tidak semua masalah layak menjadi bahan pertengkaran. Apalagi sampai menjadi pertengkaran yang hebat. Bila anda memikirkan hal ini, berarti anda siap memberikan kado ”kesediaan mengalah”. Kesediaan untuk mengalah juga dapat melunturkan sakit hati dan mengajak kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.

SENYUMAN
Percaya atau tidak, kekuatan senyuman amat luar biasa. Senyuman, terlebih yang diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat dalam keputusasaan, pencerah suasana muram, bahkan obat penenang jiwa yang resah. Senyuman juga merupakan isyarat untuk membuka diri dengan dunia sekeliling kita. Kapan terakhir kali anda menghadiahkan senyuman manis pada orang yang dikasihi?

Jumat, 06 Agustus 2010

THE AUSTRALIAN DAY

Pada tanggal 26 Januari dianggap sebagai the Austarlia Day karena rombongan para Deportan mendarat dan untuk mengalihkan Bendera Inggris yaitu di Port Jackson. Di tempat ini rombongan membuka sebuah pemukiaman dan secara resmi dinyatakan sebagai daerah koloni Inggris di Australia. Jumlah kaum imigran yang datang pertama kali ini berjumlah sekitar 1.500 orang, tentara dan narapidana tiba dari Inggris bersama Gubernur Philip . Propinsi ini diberi nama New South Wales yang memang telah dipakai pada saat sebelumnya. Desa atau kota Port Jackson kelak setelah berkembang akan dirubah namanya menjadi Sidney yang selain merupakan kota tertua juga menjadi kota terbesar di Australia sampai saat ini.
Rombongan pertama inilah stok pertama masyarakat New South Wales. Dengan melihat komposisi masyarakat sekitar 1.500 orang jelas bahwa kenyataannya (paling tidak pada taraf permulaan), koloni New South Wales dibuka sebagai tempat pembuangan atau penalstlement . keadaan seperti ini sangat mempengaruhi gerak kemajuan koloni itu, terutama pada tahap-tahap awal.
Perlu di ketahui bahwa para Deportan yang dikirim ke Asutralia pada tanggal 26 Januari 1788 memang bukanlah kolonis-kolonis Pioner yang memiliki keterampailan bidang pertanian. Oleh karena itu tahun-tahun pertama kehidupan mereka di daerah baru dilewati dengan berat. Selama beberapa tahun karena usaha pertanian gagal, nasib mereka sepenuhnya tergantung dari kiriman yang didatangkan dari Inggris. Bila kapal-kapal yang membawa perbekalan makanan terlambat datang, sering kebutuhan hidup mereka selama berbulan-bulan di jatah dan lauk mereka hanya berupa daging yang telah di awetkan.
Jadi tanggal 26 januari 1788 yaitu tanggal di mulainya pemukiman para kolonis di Australia kemudian oleh bangsa Asutralia diperingati dan dirayakan sebagai hari lahirnya Australia ( The Australia Day ) serta di peringati juga sebgai hari Nasional. Seperti peringatan yang diadakan pada tanggal 26 januari 1990 yang lalu secara besar-besaran dan sempat memperoleh ancaman dan tantangan keras dari Aborigin , pemukim asli benua Australia.