Kamis, 30 September 2010

18 character leadership java

Asta Dasa Kotamaning Prabu atau 18 ilmu kepemimpinan Jawa dari jaman keemasan Kerajaan Majapahit di bumi Nusantara ini. Ke-18 prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut, yakni:
01. Wijaya | Seorang pemimpin harus mempunyai jiwa yang tenang, sabar dan bijaksana serta tidak lekas panik dalam menghadapi berbagai macam persoalan karena hanya dengan jiwa yang tenang masalah akan dapat dipecahkan;
02. Mantriwira | Seorang pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun;
03. Natangguan | Seorang pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan kehormatan;
04. Satya Bakti Prabu | Seorang pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan demi nusa dan bangsa;
05. Wagmiwak | Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan serta mampu menggugah semangat masyarakatnya;
06. Wicaksaneng Naya | Seorang pemimpin harus pandai berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat;
07. Sarjawa Upasama | Seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong, congkak, mentang-mentang jadi pemimpin dan tidak sok berkuasa;
08. Dirosaha | Seorang pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, pemimpin harus memusatkan rasa, cipta, karsa dan karyanya untuk mengabdi kepada kepentingan umum;
09. Tan Satresna | Seorang pemimpin tidak boleh memihak/pilih kasih terhadap salah satu golongan atau memihak saudaranya, tetapi harus mampu mengatasi segala paham golongan, sehingga dengan demikian akan mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakatnya untuk mensukseskan cita-cita bersama;
10. Masihi Samasta Buwana | Seorang pemimpin mencintai alam semesta dengan melestarikan lingkungan hidup sebagai karunia dari Tuhan/Hyang Widi dan mengelola sumber daya alam dengan sebaikbaiknya demi kesejahteraan rakyat;
11. Sih Samasta Buwana | Seorang pemimpin dicintai oleh segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya pemimpin mencintai rakyatnya;
12. Negara Gineng Pratijna | Seorang pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan, maupun keluarganya;
13. Dibyacita | Seorang pemimpin harus lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya;
14. Sumantri | Seorang pemimpin harus tegas, jujur, bersih dan berwibawa;
15. Nayaken Musuh | Seorang pemimpin harus dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada di dalam dirinya sendiri;
16. Ambek Parama Arta | Seorang pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum;
17. Waspada Purwa Arta | Seorang pemimpin selalu waspada dan mau melakukan mawas diri untuk melakukan perbaikan;
18. Prasaja | Seorang pemimpin supaya berpola hidup sederhana, tidak berfoya-foya atau serba gemerlap.

Rabu, 29 September 2010

Positivisme Logis

Positivisme ditegakkan di atas lima sumsi (yang dapat diasumsikan sebagai rukun imannya positivisme, yakni Logika, Empirisme, realitas, Reduksionisme, Determinisme, dan asumsi bebas nilai.

Rukun pertama, Logika empiris menyatakan bahwa proposisi hanya berarti apabila dapat diverifikasi dengan pengalaman indrawi. kita dapat menentukan apakah sebuah proposisi benar atau salah dengan menghubungkan proposisi itu pada pembuktian empiris. Proposisi"Jakarta itu panas" adalah proposisi yang berarti. it makes sense, karena kita dapat mengeceknya dengan datang ke Jakarta. Kita dapat merasakan udara panas itu atau memasang termometer di tempat terbuka. Banyak proposisi tidak dapat diverifikasi, karena itu proposisi-proposisi itu tidak berarti, not make sense,atau non sense. Di antara proposisi itu misalnya"korupsi itu jelek", "roh itu ada" dan "Tuhan itu ada. "tidak ada pembuktian inderawi (Sense Exprience) untuk menentukan apakah korupsi itu jelek atau baik, sama seperti sukar membuktikan secara empiris apakah tuhan itu ada atau tidak ada. Karena Filsafat seringkali mempersoalkan hal-hal yang metafisik-yang non-sensory-positivisme menolak untuk membicarakannya. Soal-soal metafisik hanyalah pseoudo-proposition yang tidak mempunyai makna. Problem yang dipikirkan pemikir-pemikir besar sepanjang sejarah sejak Plato, Aquinas, sampai Sartre dianggap bermakna dan karena itu harus ditinggalkan. Dengan begitu, semua wacana filosofis diruntuhkan. Alfred Jules Ayer berkata, "The traditional disputes of philosophers are, for the most part, as unwarranted as they are unfruitful."

Rukun kedua, realitas objektif, disebut juga realitas naif menyatakan bahwa hanya ada satu realitas yang dapat diketahui oelh pengalaman. Realitas fisikal, temporal dan sosial dapat diketahui melalui studi individual, walaupun hanya bersifat perkiraan. Bila cukup waktu dengan menggunakan metode yang benar penelitian dapat menggabungkan realitas perkiraan tersebut. Realisme melihat bahwa "dunia yang kita ketahui berada terlepas dari pengetahuan kita terhadapnya". Ada garis demarkasi antara dunia objektif yang dapat dipersepsikan oleh individu dalam kesendiriannya. Yang pertama adalah dunia ilmiah; yang kedua menghasilkan pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi secara publik. Yang mengetahui terpisah dari yang diketahui.

Rukun ketiga, reduksionisme, menyatakan bahwa kita dapat mengetahui dengan memecah-mecah dunia itu kepada satuan-satuan kecil. Melalui pengetahuan kita pada satuan-satuan kecil ini. secara induktif, kita dapat menggeneralisasikan kepada dunia lebih besar. Fenomena yang kompleks dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur yang kecil. Temperatur udara dapat diketahui dengan mengamati gerakan-gerakan molekul, perilaku manusia diketahui dengan meneliti stimulus dan respon, warna dapat diselidiki melalui panjang gelombang, pikiran diketahui melalui gelombang otak, cinta dan benci dianalisis dengan mengukur kompisisi kimiawi sekresi glandular. Lalu, bagaimana Tuhan bisa diketahui. Tuhan adalah "konsep" yang tidak bisa dioperasionalkan, karena itu tidak dapat diukur; karena itu pula tidak ada.

Rukun keempat, materialisme, menyatakan bahwa dunia ini diatur oleh hukum sebab akibat yang bersifat linier. Baik sebab maupun akibat terjadi pada dunia empiris. apapun yang terjadi sekarang, terjadi karena sebab-sebab yang mendahuluinya. Anda hadir dalam pengajian karena pengalaman yang mendahuluinya. Anda hadir dalam pengajian karena pengalaman masa kecil anda. laki-laki berperilaku agresif karena pengalaman evolusi biologis mereka. Perempuan memiliki kecenderungan untuk memelihara dan merawat anak, karena kelakuan itu sudah ditentukan dalam "kode genetik" mereka. Positivisme menegaskan determinisme, ilmu dapat meramalkan dan juga mengendalikan berbagai peristiwa di alam semesta. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin banyak hukum sebab akibat dari segala sebab, para ilmuwan memasukkan ke dalam sebab kecuali Tuhan.

Rukun kelima, asumsi bebas nilai, menyatakan bahwa karena peneliti dan yang diteliti terpisah maka setiap penelitian ilmiah selalu bebas nilai. Nilai bersifat subjektif, sedangkan dunia pengamatan bersifat objektif. Ketika Descrates memisahkan "jiwa"-yang diketahui lewat pengalaman subjektif dan "materi" yang menjadi objek kajian ilmu, para ilmuwan dilepaskan dari tanggungjawab dan nilai. Mereka memusatkan perhatian pada penelitian materi "materi" dan meyerahkan hal-ihwal "jiwa" seperti nilai, tujuan hidup, agama dan sebagainya-kepada para teolog, folosof, dan agamawan.

Minggu, 05 September 2010

Kontroversi rumusan Pancasila yang benar dan sah.

Tinjauan historis tentang Pancasila dan UUD 1945 yang lengkap telah dibukukan dengan judul “Lahirnya UUD 1945”, 2004 (direvisi tahun 2009). Buku tersebut meluruskan data dan catatan di “Naskah Persiapan UUD” susunan Prof.M.Yamin, dan meluruskan Risalah BPUPKI-PPKI tahun 1992 dan 1995 serta meluruskan isi Kata Pengantar Risalah Sidang BPUPKI-PPKI terbitan Sekretariat Negara, 1998. Sebab itu pada kesempatan ini saya hanya mengemukakan secara singkat beberapa kontroversi yang masih membara, dan berusaha untuk memaparkan konsistensi nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan negara. Kontroversi yang akan dikemukakan adalah tentang 6 “Pancasila” yang mengandung “nilai pokok” (core value) dan norma yang berlain-lainan yaitu: 1.Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, 2.Pancasila yang dirumuskan oleh “Panitia Delapan” dan “Panitia Sembilan” yang tercantum di alinea 4 Piagam Jakarta yang disusun pada tanggal 22 Juni 1945 dan kemudian disetujui oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 11 Juli 1945, 3. Pancasila yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai bagian Pembukaan UUD 1945, 4.Pancasila sebagai bagian dari Mukaddimah Konstitusi RIS dan 5.Pancasila yang tercantum sebagai bagian dari Mukadimah UUDS 1950, 6.Pancasila yang tercantum di Dekrit Presiden tahun 1959 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.

Kontroversi tentang rumusan Pancasila yang benar dan sah.
Pancasila adalah suatu komposisi dari nilai-nilai, bukan nilai-nilai yang terserak-serak tak beraturan. Rumusan “Pancasila 1 Juni” berbeda jauh dengan rumusan “Pancasila 18 Agustus” dalam hal hirarkhi norma (axiological hierarchy of norms). Penjelasannya demikian:
- Pancasila yang diucapkan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 dengan urutan: 1.Kebangsaan Indonesia, 2.Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, 3.Mufakat atau Demokrasi, 4.Kesejahteraan Sosial, dan 5.Ketuhanan Yang Maha Esa masih merupakan rancangan “philosophische grondslag” yang akan dirumuskan oleh “Panitia Delapan BPUPK” setelah mendapat masukan dari anggota BPUPK lainnya.
- Pada tanggal 22 Juni 1945, rancangan Pancasila “Panitia Delapan” disempurnakan oleh “Panitia Sembilan” dengan mengubah urutan nilai pokok (core values) menjadi: 1.Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2.Menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3.Persatuan Indonesia, 4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perubahan urutan itu menyebabkan perubahan mendasar, perubahan “axiological hierarchy”.
- Pancasila susunan “Panitia Sembilan” diresmikan oleh sidang BPUPK pada tanggal 11 Juli 1945 dengan urutan yang sama dengan urutan Pancasila di Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.
- Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mensahkan Pancasila dengan rumusan sebagai berikut: 1.Ketuhanan Yang Maha Esa, 2.Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3.Persatuan Indonesia, 4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan – perwakilan, 5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Rumusan Pancasila di Konstitusi RIS adalah sebagai berikut: 1.Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, 2.Peri Kemanusiaan, 3.Kebangsaan, 4.Kerakyatan dan 5.Keadilan Sosial.
- Rumusan Pancasila di UUDS 1950 sama dengan di Konstitusi RIS.

Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945. Pada tanggal 22 Juni 1945 “axiological hierarchy”-nya berubah, nilai moral, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam diangkat keatas, dijadikan Norma Utama (norma normarum). Setelah disetujui oleh rapat pleno BPUPK yang hanya terdiri dari wakil-wakil dari Jawa saja, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI yang meliputi wakil-wakil dari seluruh Indonesia mengubah rumusan Pancasila dengan mengurangi “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dan menambahkan “tiga kata” (“Yang Maha Esa”). Jadi, rumusan Pancasila yang sah adalah rumusan PPKI, rumusan dari wakil-wakil selurah rakyat Nusantara setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pancasila yang disahkan pada tangal 18 Agustus 1945 itu benar-benar merupakan “hogere optrekking” (istilah Bung Karno, artinya “peningkatan”) dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis karena yang diutamakan adalah moral yang berasal dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, kebaikan hukum positif harus diukur dari asas-asas yang bersumber kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan “Ketuhanan” saja.

Pancasila berbeda dengan teori Grundnorm dari Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum positif tidak perlu bersangkut paut dengan moral, ideologi, politik dan sejarah yang intinya berada diluar bidang hukum. Demokrasi Pancasila yang mengutamakan musyawarah untuk mendapat mufakat, mengutamakan “harmony”, berbeda dengan Demokrasi Liberal yang mengutamakan “voting” dan menimbulkan perasaan kalah dan menang yang sering menyakitkan hati.

Tentang “Nilai”, “Norma”, istilah Staatsfundamentalnorm dan Grundnorm.
“Nilai” dapat didefinisikan sebagai ukuran untuk “kebaikan” (goodness) atau “pemenuhan keinginan” (desirability). Norma memberi petunjuk umum tentang cara bertindak. “Nilai” dapat dikatakan sebagai “norma tinggi” (“higher order norms”). Tingkatan norma berbeda-beda, ada ditingkat Pembukaan UUD/Tingkatan yang lebih tinggi daripada di UUD, ada ditingkat UUD, dan ada ditingkat perundang-undangan lainnya.

“Nilai” masih abstrak, sifatnya lebih umum sedangkan “Norma” lebih khusus, sudah dapat dijatuhi sanksi hukum atau sanksi sosial bila dilanggar. Hubungannya dapat digambarkan demikian, “Nilai” “privacy” dapat menjadi ketentuan (norma) bahwa “surat tidak boleh dibuka oleh orang yang tidak berhak” atau adanya aturan (norma) bahwa “tidak boleh masuk rumah orang tanpa ijin pemiliknya”.

Penempatan “norma” ditingkat UUD atau undang-undang bersifat subjektif. Di Amerika Serikat, ketentuan yang tidak tertulis atau yang tercantum di undang-undang biasa diangkat ketingkat Konstitusi. Contoh, Amendemen V menegaskan perlunya asas Due Process, Amendemen VII menentukan “Exessive bail shall not be required, nor excessive fines imposed, nor cruel and unusual punishment inflicted,21 dan Amendemen XXVII (1992) menentukan bahwa perubahan “kompensasi” untuk anggota Congress berlaku untuk anggota Congress yang akan datang (No law varying the compensation for the services of the Senators and Representatives shall takes effect until an election of Representatives shall have intervened. Ketentuan itu dibuat agar tidak melanggar asas “nemo iudex in causa sua.

Istilah Staatsfundamentalnorm diperkenalkan oleh Prof.Notonagoro pada tahun 1955. Istilah “Staatsfundamentalnorm” digunakan oleh Notonagoro untuk menyatakan seluruh kaidah (norma) di Pembukaan UUD 1945. Notonagoro membedakan antara Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila tetapi tidak menyatakan mana yang dianggap sebagai Grundnorm. Hal itu terlihat dari pernyataannya bahwa: “Kebaikan hukum positif Indonesia termasuk (tubuh) UUD harus diukur dari asas-asas yang tercantum dalam Pembukaan. Dan karena itu Pembukaan dan Pancasila harus dipergunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia”. (lihat: Notonagoro,Pancasila Dasar Falsahah Negara, Jakarta, 1974:8). Istilah Grundnorm baru muncul tahun delapan puluhan dan sampai sekarang kita belum sepakat tentang arti istilah Grundnorm tersebut.

Pernyataan Notonagoro yang perlu dikritisi adalah “bahwa Pancasila hidup di tiga UUD, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950”. Pernyataan itu menimbulkan kontroversi seperti yang dikemukakan oleh Marsillam Simandjuntak, yaitu “mengapa Pancasila sebagai Grundnorm dapat menghasilkan norma yang berlainan, bahkan bertentangan”.
Pendapat Marsillam dikemukakan karena dia mengira bahwa Pancasila 1945 sama dengan Pancasila tahun 1949 dan/atau Pancasila 1950. Padahal, sebagaimana disebutkan diatas, “Pancasila” sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945 rumusannya berbeda dengan “Pancasila” yang tercantum sebagai bagian dari Mukaddimah Konstitusi RIS dan/atau Mukaddimah UUDS 1950. Tujuan Nasional-nya juga berbeda. Dengan sendirinya norma yang dikandungnya juga berbeda. Agar lebih jelas, tujuan Nasional di UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sedangkan tujuan Nasional di Konstitusi RIS dan UUDS 1950 sama yaitu untuk mewujudkan:
1. Kebahagiaan
2. Kesejahteraan
3. Perdamaian
4. Kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.

Sabtu, 04 September 2010

two stage revolution

TAK banyak buku atau risalah yang ditulis Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Selama 13 tahun bergerilya di hutan-hutan Tasikmalaya, ia memang membawa mesin tik sebesar meja. Tapi ia hanya menulis pikiran-pikirannya tentang cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia dalam bentuk pedoman dan artikel pendek, yang dimuat koran Fadjar Asia pada 1930-an.

Meski ada tujuh buku yang menghimpun buah pikirannya, setiap buku menyuarakan hal sama. Sementara Soekarno atau Tan Malaka merumuskan ideologinya secara runtut, bahkan lebih dari rumusan traktat akademik, tulisan-tulisan Kartosoewirjo lebih seperti propaganda. Kalimatnya lincah meski dengan nada rendah.
Dalam buku Haluan Politik Islam (1946), Kartosoewirjo membayangkan sebuah negara yang damai sentosa dan hukum Tuhan tegak mengatur hajat hidup orang banyak, dalam nama Negara Islam Indonesia. Untuk mencapainya, menurut dia, dibutuhkan dua tahap revolusi.

Tahap pertama adalah revolusi nasional, yaitu pengusiran penjajah dari bumi Indonesia. Revolusi ini selesai pada 1945 ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu, masuk revolusi tahap kedua, yakni “revolusi sosial”. Pada masa inilah Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan mencontoh perjalanan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad.

Ia menyamakan kondisi Mekah sebelum Nabi hijrah dengan Indonesia sebelum 1945: jahiliah, tak ada tuntunan, dijajah dan diperangi ideologi lain. Nabi pun hijrah ke Madinah untuk mencapai kegemilangan. Di Madinah umat muslim mencapai masa keemasan. Agar Indonesia sama seperti periode Madinah, menurut Kartosoewirjo, rakyat Indonesia juga harus hijrah di semua lini: politik, sosial, ekonomi.

Caranya dengan jihad fisabilillah, bukan jihad fillah atau jihad yang hanya mengekang hawa nafsu. Jihad itu, menurut Kartosoewirjo, harus dirumuskan dan dilakukan secara cermat di semua sektor. Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan yang sulit, dan bertempur dengan ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang. “Perang menghadapi negara Pancasila menjadi wajib hukumnya,” tulisnya dalam Perdjalanan Soetji Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah (1953).

Sebelum bisa berjihad dan hijrah, rakyat Indonesia harus beriman dulu, yakin bahwa hukum-hukum Allah adalah hukum terbaik untuk mengatur perikehidupan. Kartosoewirjo menyebut periode ini sebagai periode “revolusi individu”. Para cerdik cendekia seperti dia dan kadernya harus mendorong revolusi individu ini seraya melakukan revolusi sosial. Tiga konsep inilah-iman, jihad, hijrah-yang kemudian menjadi basis ideologi Darul Islam dalam mencapai Negara Islam Indonesia dan ia sebagai imamnya.

Kartosoewirjo selalu menghubungkan apa yang terjadi di Indonesia dengan peristiwa yang menyertai hijrah Nabi. Medio 1947, ketika mengumumkan “perang suci” menghalau Belanda, ia menyamakannya dengan proklamasi Nabi memerangi kaum Quraish. Begitu pula Revolusi Gunung Cupu pada 17 Februari 1948, dan terakhir proklamasi Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.

Ia percaya, peristiwa di zaman Nabi dan kejadian-kejadian yang dia alami bersama pengikutnya “sama-sama di luar dugaan dan perhitungan manusia”. Dalam Sikap Hidjrah (1936), Kartosoewirjo yakin rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan sukarela menerima negara Islam sebagai bentuk baru pengganti republik. Keyakinan yang terbukti keliru.

Jumat, 03 September 2010

Karena Takdir Karena Cinta

(Kepada "A.. :Juli 2005)

Bukan karena engkau cantik
Menjadikanku tertarik
Namun karena takdir membat cinta
Buktinya dia cantik aku tidak tertarik

Bukan karena aku tak laku
Menjadikan aku mengejar-ngejar kamu
Walaupun berulang kali kau dustai aku
Namun, karena cinta yang memilih kamu

Bukan karena sipa kita berpisah
Menjadikanku sengsara
Namun, karena takdir bicara
Buktinya engkau makin lengket sama dia

Bukan, karena aku tak tahu
Menjadikanku ragu
Namun, Karena cinta tak mengijinkan
Hatimu kulukai menuduh tanpa bukti

Bukan karena cemburu
Menjadi aku bertanya ragu
Tapi, karena takdir ingin membuka tabir
Kata-kata jujur keluar dari bibir

Kamis, 02 September 2010

Manusia ?

Hidup penuh pertanyaan teka-teki, demikianlah manusia. Tidak hanya bertanya tentang mahkluk selain dia, namun juga bertanya tentang manusia itu sendiri. Bukan gila jika ada pertanyaan sebenarnya kita ini siapa? Manusia ini apa?. Justru pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang menjadikan manusia itu ada. Manusia itu 90% berisikan cairan, tapi manusia itu bukanlah air, tapi manusia membutuhkan air. Hukum-hukum alam berlaku untuk manusia, hidup dan mati seperti tumbuhan dan hewan. Tapi manusia bukan tumbuhan atau hewan. Suatu ketika manusia dilahirkan ke dunia dan suatu saat mereka dijadikan mati. Manusia bukanlah roh, meskipun mahluk rohaniawan. Tapi yang perlu kita ingat manusia itu mahkluk yang berfikir, penuh pertimbangan, memutuskan dan berkehendak.

Manusia keheranan dengan keberadaannya dan berusaha mencari jawaban atas setiap pertanyaan. Berbagai pertanyaan manusia memunculkan banyak disiplin ilmu yang sampai saat ini ada dan dipelajari. namun semua dispilin ilmu yang khas itu hanya mampu menjawab segala pertanyaan yang bersifat dunia hayati saja. Ilmu-ilmu tersebut tidak cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia. Maka selain ilmu-ilmu hayat maka kemudian muncul yang dinamakan refleksi. Refleksi lebih bersifat pada kerohanian, setiap refleksi dikembalikan kepada masing-masing Individu, berdasarkan pengalaman-pengalaman masing-masing manusia. Dan itu pada akhirnya nanti akan mempengaruhi paham, keyakinan dan agama yang akan dijalani oleh manusia di dunia ini.

Banyak teori-teori yang muncul dari sebuah pertanyaan sepele dan menjadikan manusia itu semakin hidup. Hidup untuk dirinya sendiri dan juga hidup untuk orang lain. Dan saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Pertentangan antara baik dan benar atau hal-hal yang sama-sama benar. Segala bentuk pertentangan itu diarahkan pada jiwa dan tubuh manusia pribadi dan orang lain.

Pertentangan-pertentangan manusia menjadi sebuah dinamika tersendiri dan menjadikan manusia semakin dinamis. Kedinamisan manusia menimbulkan sebuah ikatan relasi dalam menjalankan setiap pemikiran untuk bekerja menuju pada tujuan bersama secara hayati. Semua bebas tanpa ikatan, bertanggungjawab atas dorongan metafisis.