Melalui karyanya yang berjudul Nomoi (The Law), Plato berpendapat bahwa “suatu negara sebaiknya berdasarkan atas hukum dalam segala hal”. Begitu pula Aristoteles. Senada dengan Plato, ia menuliskan pandangannya mengenai signifikansi basis hukum dalam suatu negara. Ia berpandangan bahwa “suatu negara yang baik adalah negara yang diperintahkan oleh konstitusi dan berkedaulatan hukum”.
Sebagai suatu ketentuan yang mengikat, norma hukum itu memiliki sifat yang berjenjang atau bertingkat. Artinya, suatu norma hukum akan berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan bersumber lagi pada norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma dasar/norma yang tertinggi dalam suatu negara yang disebut grundnorm. Dengan demikian grundnorm merupakan puncak dalam kesatuan tata hukum/norma-norma hukum yang berlaku di suatu negara. Norma-norma dasar inilah yang selanjutnya menjadi kerangka dasar dalam merumuskan masa depan (cita-cita dan tujuan) suatu negara.
Secara terminologi, istilah dasar negara terbentuk dari dua kata yaitu dasar dan negara. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata dasar berarti; (i) bagian yang terbawah; (ii) alas, pondamen; (iii) asas, pokok atau pangkal (suatu pendapat atau aturan, dsb). Sedangkan kata negara berarti: (i) persekutuan bangsa dalam satu daerah yang tentu batas-batasnya yang diperintah dan diurus oleh badan pemerintahan yang teratur; (ii) daerah dalam lingkungan satu pemerintah yang teratur. Apabila dikaitkan dengan negara, dasar negara dapat di artikan sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan penyelenggaraan ketatanegaraan negara yang meliputi berbagai bidang kehidupan.
Dasar negara merupakan suatu norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara, yang menjadi sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum (recht-idee), baik tertulis maupun tidak tertulis, dalam suatu negara. Cita hukum ini akan mengarahkan hukum pada cita-cita bersama dari masyarakatnya. Dalam suatu negara, cita-cita bersama ini sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Cita-cita ini mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat. Rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama ini diperlukan untuk menjamin ke¬ber¬samaan di suatu masyarakat, dalam kerangka kehidupan bernegara. Selanjutnya rumusan cita-cita bersama ini disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Di Indonesia, dasar negara yang disepakati adalah Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Pancasila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Pancasila dan tujuan negara tersebut dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Lahirnya dasar negara Pancasila tidaklah taken for granted, melainkan merupakan sebuah kesepakatan yang dibuat dengan melalui perdebatan yang tajam. Para pendiri negara dengan sangat cemerlang mampu memilih menyepakati pilihan yang pas tentang dasar negara sesuai dengan karakter bangsa, menjadi sebuah negara modern yang berkarakter religius, tidak sebagai negara sekuler juga tidak sebagai negara agama. Rumusan konsepsinya benar-benar diorientasikan pada dan sesuai dengan karakter bangsa. Mereka bukan hanya mampu menyingkirkan pengaruh gagasan negara patrimonial yang mewarnai sepanjang sejarah nusantara prakolonial, namun juga mampu meramu berbagai pemikiran politik yang berkembang saat itu secara kreatif sesuai kebutuhan masa depan modern anak bangsa.
Istilah Pancasila pertama kali disebut dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai filosofische grondslag, yaitu sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, yang di atasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah weltanschauung atau pandangan hidup.
Pidato Soekarno pada saat itu adalah salah satu dari rangkaian pandangan yang disampaikan dalam persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945. Dokumen inilah yang nantinya menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini, disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno dengan penyempurnaan, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai filosofische grondslag ataupun weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Pembukaan UUD 1945 itulah yang merupakan weltanschauung dan filosofische grondslag bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Sebagai pandangan hidup (weltanschauung), Pancasila berfungsi sebagai cita-cita atau idea yang semestinya harus selalu diusahakan untuk dicapai oleh tiap-tiap manusia Indonesia sehingga cita-cita itu bisa terwujud. Sebagai dasar negara (filosofische grondslag), Pancasila sebagai landasan dan panduan dasar dalam penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat. Pancasila adalah pedoman sekaligus filter yang membingkai penyelenggaraan negara dan perkembangan masyarakat. Sila-sila Pancasila menjadi panduan dalam segala pelaksanaan aktivitas negara dan masyarakat, termasuk didalamnya adalah panduan dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya dan lain sebagainya. Selain itu, sebagai bingkai hukum tertinggi, Pancasila juga sepatutnya menjadi rujukan utama proses pembuatan Undang-Undang. Pancasila juga harus dijadikan ukuran untuk menguji konstitusionalitas suatu Undang-Undang.
Pada dasarnya, karena kedudukan Pancasila sebagai filofische grondslag dan weltasshauuung, maka setiap warga negara berhak untuk menafsirkannya. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila sesungguhnya adalah sebuah ideologi terbuka, yang perlu untuk bersifat aktual, dinamis, antisifasif dan mampu adaptif terhadap perkembangan zaman. Keterbukaan ideologi pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya agar lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang selalu berkambang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek dan zaman. Sebagai ideologi terbuka, falsafah negara dapat terbuka karena hanya mengenai orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan normanorma politik-sosial seharusnya selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan cita-cita masyarakat lainnya. Ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan karenanya tidak dapat dipakai untuk melegitimasikan kekuasaan sekelompok orang.
Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa Orde Baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila, saat itu terposisikan sebagai alat hegemoni elit penguasa untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaannya. Armahedy Mahzar berpandangan bahwa salah satu penyebab utama timbulnya monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa adalah sebagai akibat dari diterapkannya Pancasila sebagai ideologi. Seharusnya Pancasila, demikian Mahzar, tidak boleh lagi menjadi sekadar ideologi politik negara, melainkan harus berkembang menjadi paradigma peradaban global. Di pihak lain, anggapan bahwa Pancasila merupakan ideologi, baik dalam pengertian ideologi negara, atau ideologi bangsa masih dipertahankan kelompok masyarakat yang lainnya. Ini terlihat pada pandangan Koentowijoyo, Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam dan Budiarto Danujaya, James Dananjaya, dan Asyari. Patut dicatat bahwa pendapat yang bertolak belakang tentang Pancasila itu muncul sebagai bagian dari kekecewaan terhadap perkembangan Pancasila selama ini, yaitu terhadap interpretasi dan pelaksanaan Pancasila di bawah rezim pemerintah Indonesia sebelumnya. Dengan kata lain, kedua kubu yang memberikan penilaian berbeda tentang status Pancasila tersebut masing-masing meletakkan analisisnya dalam kerangka evaluasi terhadap perkembangan Pancasila seperti yang dipraktekkan pada jaman Orde Baru.
Persoalan ini tentu saja merupakan persoalan yang cukup serius. Untuk itulah, pada saat penafsiran Pancasila tersebut berada pada konteks kehidupan bernegara, maka diperlukan penafsiran yang mencerminkan konstitusi dan dibuat dengan mekanisme yang demokratis. Penafsiran Pancasila sebagai dasar negara, seharusnya tidak boleh diperumit oleh berbagai pemikiran teoritis oleh pendapat orang-perorang. Karena itu, satu satunya penafsiran yang benar adalah oleh dan dengan konstitusi. Dengan demikian dasar negara Pancasila ketika berfungsi sebagai pembentuk sistem, struktur, dan kultur bernegara terdapat dalam Undang Undang Dasar (UUD). Ini adalah kata kunci dalam melihat hal ini, sehingga tafsir di luar konstitusi hanyalah bagian dari diskursus yang dihormati tetapi tidak mengandung ikatan konstitusional.