Rabu, 29 September 2010

Positivisme Logis

Positivisme ditegakkan di atas lima sumsi (yang dapat diasumsikan sebagai rukun imannya positivisme, yakni Logika, Empirisme, realitas, Reduksionisme, Determinisme, dan asumsi bebas nilai.

Rukun pertama, Logika empiris menyatakan bahwa proposisi hanya berarti apabila dapat diverifikasi dengan pengalaman indrawi. kita dapat menentukan apakah sebuah proposisi benar atau salah dengan menghubungkan proposisi itu pada pembuktian empiris. Proposisi"Jakarta itu panas" adalah proposisi yang berarti. it makes sense, karena kita dapat mengeceknya dengan datang ke Jakarta. Kita dapat merasakan udara panas itu atau memasang termometer di tempat terbuka. Banyak proposisi tidak dapat diverifikasi, karena itu proposisi-proposisi itu tidak berarti, not make sense,atau non sense. Di antara proposisi itu misalnya"korupsi itu jelek", "roh itu ada" dan "Tuhan itu ada. "tidak ada pembuktian inderawi (Sense Exprience) untuk menentukan apakah korupsi itu jelek atau baik, sama seperti sukar membuktikan secara empiris apakah tuhan itu ada atau tidak ada. Karena Filsafat seringkali mempersoalkan hal-hal yang metafisik-yang non-sensory-positivisme menolak untuk membicarakannya. Soal-soal metafisik hanyalah pseoudo-proposition yang tidak mempunyai makna. Problem yang dipikirkan pemikir-pemikir besar sepanjang sejarah sejak Plato, Aquinas, sampai Sartre dianggap bermakna dan karena itu harus ditinggalkan. Dengan begitu, semua wacana filosofis diruntuhkan. Alfred Jules Ayer berkata, "The traditional disputes of philosophers are, for the most part, as unwarranted as they are unfruitful."

Rukun kedua, realitas objektif, disebut juga realitas naif menyatakan bahwa hanya ada satu realitas yang dapat diketahui oelh pengalaman. Realitas fisikal, temporal dan sosial dapat diketahui melalui studi individual, walaupun hanya bersifat perkiraan. Bila cukup waktu dengan menggunakan metode yang benar penelitian dapat menggabungkan realitas perkiraan tersebut. Realisme melihat bahwa "dunia yang kita ketahui berada terlepas dari pengetahuan kita terhadapnya". Ada garis demarkasi antara dunia objektif yang dapat dipersepsikan oleh individu dalam kesendiriannya. Yang pertama adalah dunia ilmiah; yang kedua menghasilkan pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi secara publik. Yang mengetahui terpisah dari yang diketahui.

Rukun ketiga, reduksionisme, menyatakan bahwa kita dapat mengetahui dengan memecah-mecah dunia itu kepada satuan-satuan kecil. Melalui pengetahuan kita pada satuan-satuan kecil ini. secara induktif, kita dapat menggeneralisasikan kepada dunia lebih besar. Fenomena yang kompleks dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur yang kecil. Temperatur udara dapat diketahui dengan mengamati gerakan-gerakan molekul, perilaku manusia diketahui dengan meneliti stimulus dan respon, warna dapat diselidiki melalui panjang gelombang, pikiran diketahui melalui gelombang otak, cinta dan benci dianalisis dengan mengukur kompisisi kimiawi sekresi glandular. Lalu, bagaimana Tuhan bisa diketahui. Tuhan adalah "konsep" yang tidak bisa dioperasionalkan, karena itu tidak dapat diukur; karena itu pula tidak ada.

Rukun keempat, materialisme, menyatakan bahwa dunia ini diatur oleh hukum sebab akibat yang bersifat linier. Baik sebab maupun akibat terjadi pada dunia empiris. apapun yang terjadi sekarang, terjadi karena sebab-sebab yang mendahuluinya. Anda hadir dalam pengajian karena pengalaman yang mendahuluinya. Anda hadir dalam pengajian karena pengalaman masa kecil anda. laki-laki berperilaku agresif karena pengalaman evolusi biologis mereka. Perempuan memiliki kecenderungan untuk memelihara dan merawat anak, karena kelakuan itu sudah ditentukan dalam "kode genetik" mereka. Positivisme menegaskan determinisme, ilmu dapat meramalkan dan juga mengendalikan berbagai peristiwa di alam semesta. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin banyak hukum sebab akibat dari segala sebab, para ilmuwan memasukkan ke dalam sebab kecuali Tuhan.

Rukun kelima, asumsi bebas nilai, menyatakan bahwa karena peneliti dan yang diteliti terpisah maka setiap penelitian ilmiah selalu bebas nilai. Nilai bersifat subjektif, sedangkan dunia pengamatan bersifat objektif. Ketika Descrates memisahkan "jiwa"-yang diketahui lewat pengalaman subjektif dan "materi" yang menjadi objek kajian ilmu, para ilmuwan dilepaskan dari tanggungjawab dan nilai. Mereka memusatkan perhatian pada penelitian materi "materi" dan meyerahkan hal-ihwal "jiwa" seperti nilai, tujuan hidup, agama dan sebagainya-kepada para teolog, folosof, dan agamawan.