Tinjauan historis tentang Pancasila dan UUD 1945 yang lengkap telah dibukukan dengan judul “Lahirnya UUD 1945”, 2004 (direvisi tahun 2009). Buku tersebut meluruskan data dan catatan di “Naskah Persiapan UUD” susunan Prof.M.Yamin, dan meluruskan Risalah BPUPKI-PPKI tahun 1992 dan 1995 serta meluruskan isi Kata Pengantar Risalah Sidang BPUPKI-PPKI terbitan Sekretariat Negara, 1998. Sebab itu pada kesempatan ini saya hanya mengemukakan secara singkat beberapa kontroversi yang masih membara, dan berusaha untuk memaparkan konsistensi nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan negara. Kontroversi yang akan dikemukakan adalah tentang 6 “Pancasila” yang mengandung “nilai pokok” (core value) dan norma yang berlain-lainan yaitu: 1.Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, 2.Pancasila yang dirumuskan oleh “Panitia Delapan” dan “Panitia Sembilan” yang tercantum di alinea 4 Piagam Jakarta yang disusun pada tanggal 22 Juni 1945 dan kemudian disetujui oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 11 Juli 1945, 3. Pancasila yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai bagian Pembukaan UUD 1945, 4.Pancasila sebagai bagian dari Mukaddimah Konstitusi RIS dan 5.Pancasila yang tercantum sebagai bagian dari Mukadimah UUDS 1950, 6.Pancasila yang tercantum di Dekrit Presiden tahun 1959 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Kontroversi tentang rumusan Pancasila yang benar dan sah.
Pancasila adalah suatu komposisi dari nilai-nilai, bukan nilai-nilai yang terserak-serak tak beraturan. Rumusan “Pancasila 1 Juni” berbeda jauh dengan rumusan “Pancasila 18 Agustus” dalam hal hirarkhi norma (axiological hierarchy of norms). Penjelasannya demikian:
- Pancasila yang diucapkan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 dengan urutan: 1.Kebangsaan Indonesia, 2.Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, 3.Mufakat atau Demokrasi, 4.Kesejahteraan Sosial, dan 5.Ketuhanan Yang Maha Esa masih merupakan rancangan “philosophische grondslag” yang akan dirumuskan oleh “Panitia Delapan BPUPK” setelah mendapat masukan dari anggota BPUPK lainnya.
- Pada tanggal 22 Juni 1945, rancangan Pancasila “Panitia Delapan” disempurnakan oleh “Panitia Sembilan” dengan mengubah urutan nilai pokok (core values) menjadi: 1.Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2.Menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3.Persatuan Indonesia, 4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perubahan urutan itu menyebabkan perubahan mendasar, perubahan “axiological hierarchy”.
- Pancasila susunan “Panitia Sembilan” diresmikan oleh sidang BPUPK pada tanggal 11 Juli 1945 dengan urutan yang sama dengan urutan Pancasila di Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945.
- Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mensahkan Pancasila dengan rumusan sebagai berikut: 1.Ketuhanan Yang Maha Esa, 2.Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3.Persatuan Indonesia, 4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan – perwakilan, 5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Rumusan Pancasila di Konstitusi RIS adalah sebagai berikut: 1.Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, 2.Peri Kemanusiaan, 3.Kebangsaan, 4.Kerakyatan dan 5.Keadilan Sosial.
- Rumusan Pancasila di UUDS 1950 sama dengan di Konstitusi RIS.
Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945. Pada tanggal 22 Juni 1945 “axiological hierarchy”-nya berubah, nilai moral, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam diangkat keatas, dijadikan Norma Utama (norma normarum). Setelah disetujui oleh rapat pleno BPUPK yang hanya terdiri dari wakil-wakil dari Jawa saja, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI yang meliputi wakil-wakil dari seluruh Indonesia mengubah rumusan Pancasila dengan mengurangi “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dan menambahkan “tiga kata” (“Yang Maha Esa”). Jadi, rumusan Pancasila yang sah adalah rumusan PPKI, rumusan dari wakil-wakil selurah rakyat Nusantara setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pancasila yang disahkan pada tangal 18 Agustus 1945 itu benar-benar merupakan “hogere optrekking” (istilah Bung Karno, artinya “peningkatan”) dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis karena yang diutamakan adalah moral yang berasal dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, kebaikan hukum positif harus diukur dari asas-asas yang bersumber kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan “Ketuhanan” saja.
Pancasila berbeda dengan teori Grundnorm dari Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum positif tidak perlu bersangkut paut dengan moral, ideologi, politik dan sejarah yang intinya berada diluar bidang hukum. Demokrasi Pancasila yang mengutamakan musyawarah untuk mendapat mufakat, mengutamakan “harmony”, berbeda dengan Demokrasi Liberal yang mengutamakan “voting” dan menimbulkan perasaan kalah dan menang yang sering menyakitkan hati.
Tentang “Nilai”, “Norma”, istilah Staatsfundamentalnorm dan Grundnorm.
“Nilai” dapat didefinisikan sebagai ukuran untuk “kebaikan” (goodness) atau “pemenuhan keinginan” (desirability). Norma memberi petunjuk umum tentang cara bertindak. “Nilai” dapat dikatakan sebagai “norma tinggi” (“higher order norms”). Tingkatan norma berbeda-beda, ada ditingkat Pembukaan UUD/Tingkatan yang lebih tinggi daripada di UUD, ada ditingkat UUD, dan ada ditingkat perundang-undangan lainnya.
“Nilai” masih abstrak, sifatnya lebih umum sedangkan “Norma” lebih khusus, sudah dapat dijatuhi sanksi hukum atau sanksi sosial bila dilanggar. Hubungannya dapat digambarkan demikian, “Nilai” “privacy” dapat menjadi ketentuan (norma) bahwa “surat tidak boleh dibuka oleh orang yang tidak berhak” atau adanya aturan (norma) bahwa “tidak boleh masuk rumah orang tanpa ijin pemiliknya”.
Penempatan “norma” ditingkat UUD atau undang-undang bersifat subjektif. Di Amerika Serikat, ketentuan yang tidak tertulis atau yang tercantum di undang-undang biasa diangkat ketingkat Konstitusi. Contoh, Amendemen V menegaskan perlunya asas Due Process, Amendemen VII menentukan “Exessive bail shall not be required, nor excessive fines imposed, nor cruel and unusual punishment inflicted,21 dan Amendemen XXVII (1992) menentukan bahwa perubahan “kompensasi” untuk anggota Congress berlaku untuk anggota Congress yang akan datang (No law varying the compensation for the services of the Senators and Representatives shall takes effect until an election of Representatives shall have intervened. Ketentuan itu dibuat agar tidak melanggar asas “nemo iudex in causa sua.
Istilah Staatsfundamentalnorm diperkenalkan oleh Prof.Notonagoro pada tahun 1955. Istilah “Staatsfundamentalnorm” digunakan oleh Notonagoro untuk menyatakan seluruh kaidah (norma) di Pembukaan UUD 1945. Notonagoro membedakan antara Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila tetapi tidak menyatakan mana yang dianggap sebagai Grundnorm. Hal itu terlihat dari pernyataannya bahwa: “Kebaikan hukum positif Indonesia termasuk (tubuh) UUD harus diukur dari asas-asas yang tercantum dalam Pembukaan. Dan karena itu Pembukaan dan Pancasila harus dipergunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia”. (lihat: Notonagoro,Pancasila Dasar Falsahah Negara, Jakarta, 1974:8). Istilah Grundnorm baru muncul tahun delapan puluhan dan sampai sekarang kita belum sepakat tentang arti istilah Grundnorm tersebut.
Pernyataan Notonagoro yang perlu dikritisi adalah “bahwa Pancasila hidup di tiga UUD, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950”. Pernyataan itu menimbulkan kontroversi seperti yang dikemukakan oleh Marsillam Simandjuntak, yaitu “mengapa Pancasila sebagai Grundnorm dapat menghasilkan norma yang berlainan, bahkan bertentangan”.
Pendapat Marsillam dikemukakan karena dia mengira bahwa Pancasila 1945 sama dengan Pancasila tahun 1949 dan/atau Pancasila 1950. Padahal, sebagaimana disebutkan diatas, “Pancasila” sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945 rumusannya berbeda dengan “Pancasila” yang tercantum sebagai bagian dari Mukaddimah Konstitusi RIS dan/atau Mukaddimah UUDS 1950. Tujuan Nasional-nya juga berbeda. Dengan sendirinya norma yang dikandungnya juga berbeda. Agar lebih jelas, tujuan Nasional di UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sedangkan tujuan Nasional di Konstitusi RIS dan UUDS 1950 sama yaitu untuk mewujudkan:
1. Kebahagiaan
2. Kesejahteraan
3. Perdamaian
4. Kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.