Berikut ini adalah prinsip pertama dalam dialektika, yakni gagasan mengenai pemikiran. Prinsip pertama ini menyatakan, “Gerak pemikiran tidak lain kecuali refleksi dari gerak fakta yang dipindahkan ke dalam otak.” Pemahaman tidak lain hanyalah refleksi dari alam semesta.” Menurut paham dialektika materialisme, pemikiran adalah refleksi fakta atas otak. Materi mendahului pemikiran. Oleh karena itu, materi ketika terefleksi pada otak, maka dengan refleksi ini lahirlah pemikiran. Semua perkara dibangun di atas materi. “ Materi, bumi, alam semesta, dan kenyataan empirik adalah unsur pertama. Sedangkan akal, pemahaman, dan penginderaan serta eksistensi roh (jiwa) adalah unsur kedua.” Definisi akal yang dinyatakan dengan , “refleksi materi atas otak”, adalah definisi yang salah, bila dilihat dari dua sisi;
Pertama, sebenarnya tidak pernah terjadi refleksi antara materi dengan otak. Otak tidak merefleksi atas materi, demikian juga sebaliknya. Materi tidak merefleksi atas otak. Sebab, refleksi (pemantulan) adalah pantulan materi yang direfleksikan dari sesuatu yang memantul. Refleksi pada sinar, misalnya, adalah pantulan sinar ke arah sebaliknya. Jika cahaya matahari jatuh ke atas tembok, maka cahaya itu akan menabrak tembok dan terpantul. Pemantulan ini disebut dengan refleksi. Jika sinar mendatangi cermin, maka sinar akan terpantul dari cermin. Refleksi adalah pemantulan materi atau potensi, dari sebuah organ. Kenyataan seperti ini tidak terjadi pada otak maupun kenyataan empirik. Otak tidak menabrak fakta, kemudian dipantulkan dari fakta. Fakta juga tidak menabrak otak, kemudian dipantulkan dari otak. Walhasil, tidak ada refleksi antara materi dengan otak secara mutlak. Oleh karena itu, pemikiran bukanlah refleksi materi atas otak. Sebab, refleksi antara keduanya tidak pernah terjadi, tidak akan terjadi, bahkan tidak mungkin terjadi sama sekali. Dalam kondisi apapun, tidak akan terjadi refleksi dari fakta empirik atas otak. Materi ketika berpindah ke dalam otak, tidak melalui proses refleksi, akan tetapi melalui penginderaan. Pemindahan materi menuju otak melalui penginderaan, secara otomatis akan menghasilkan penginderaan terhadap materi. Pemindahan materi ke dalam otak via penginderaan bukanlah refleksi materi atas otak, bukan juga refleksi otak atas materi. Akan tetapi, ia adalah penginderaan terhadap materi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara mata, serta indera-indera yang lain. Apa yang dihasilkan dari indera raba, penciuman, rasa, maupun pendengaran tidak ada ubahnya dengan penginderaan yang dihasilkan oleh penglihatan. Dengan demikian, yang terjadi adalah penginderaan terhadap materi, bukan refleksi materi atas otak. Manusia bisa mengindera suatu materi melalui panca inderanya, bukan melalui refleksi materi atas otaknya.
Apa yang terjadi pada penglihatan, juga bukan merupakan refleksi, akan tetapi pembelokan. Sinar akan membelok di dalam mata, kemudian mata mencitrakan gambar materi pada retina, bukan memantulkan dari luar. Pembelokan berbeda dengan refleksi. Perbedaan antara pembelokan dengan refleksi adalah; refleksi adalah memantulkan gambar ke luar, sedangkan pembelokan adalah pencitraan gambar di dalam. Gambar yang terlihat di dalam cermin merupakan pemantulan. Gambar akan tampak jika ada pantulan sinar kepadanya. Selanjutnya gambar akan dicitrakan. Ketika tidak ada sinar maka gambar itu tidak tampak. Pemantulan seperti ini terjadi pada sinar yang mengenai organ yang tidak memiliki sifat meneruskan cahaya kepada organ. Oleh karena itu, gambar tidak akan terlihat jika tidak ada pemantulan sinar. Pada kondisi seperti ini yang terjadi adalah pemantulan pada sinar bukan pada gambar. Sedangkan gambar adalah sesuatu yang dicitrakan. Oleh karena itu, tatkala gambar seseorang atau materi tampak pada mata orang lain, maka semua ini terlihat akibat adanya pemantulan sinar . Gambar-gambar tersebut tidak akan tampak jika berada dalam kegelapan. Selain itu, ini juga bukan pemantulan seseorang atau materi, akan tetapi pemantulan cahaya. Lebih dari itu, pemantulan seseorang atau materi tidak akan menghasilkan penglihatan. Jelaslah, bahwa gambar yang tampak di dalam cermin dan gambar yang tampak pada mata orang lain adalah aktivitas pemantulan, bukan aktivitas pembelokan. Yang mengalami pemantulan pada proses semacam ini adalah sinar yang mengenai organ yang tidak memiliki kecenderungan untuk meneruskan cahaya kepadanya; bukan gambar. Sedangkan penglihatan prosesnya bukan pemantulan, akan tetapi, sinar datang yang dari materi diteruskan pada mata. Selanjutnya akan muncul gambar di dalam retina mata, dan secara otomatis muncullah penglihatan. Walhasil, proses pemindahan fakta ke dalam otak melalui penginderaan mata bukanlah proses pemantulan, akan tetapi pembelokan (penerusan). Aktivitas pemantulan (refleksi) dari sisi refleksi itu sendiri, tidak pernah terjadi pada aktivitas berfikir dan tidak akan pernah terjadi. Dengan demikian definisi pemikiran dalam dialektika adalah definisi yang salah dan bertentangan dengan fakta.
Kedua, penginderaan saja tidak akan menghasilkan pemikiran, akan tetapi hanya menghasilkan penginderaan belaka. Dengan kata lain, hanya menghasilkan penginderaan terhadap fakta, tidak lebih. Penginderaan terhadap Zaid walaupun dilakukan berjuta-juta kali hanyalah penginderaan terhadap Zaid. Meskipun jenis penginderaannya banyak akan tetapi ia hanya menghasilkan penginderaan belaka, dan tidak akan menghasilkan pemikiran secara mutlak. Akan tetapi, untuk menghasilkan pemikiran, manusia harus memiliki maklumat sebelumnya yang akan menafsirkan fakta yang telah dicerap oleh indera. Bila seseorang yang belum memiliki satupun pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa Suryani, kita sodori buku berbahasa Suryani. Kita akan mendapati, ia akan melihat dan meraba buku itu. Meskipun penginderaan itu dilakukan jutaan kali, tetap saja ia tidak akan mampu memahami satupun kata, hingga diberi maklumat tentang bahasa Suryani, serta hal-hal yang berhubungan dengan Suryani. Setelah diberi maklumat, secara otomatis ia akan mulai berfikir dan memahami buku itu. Demikian pula, jika kita letakkan sepotong emas, tembaga, dan batu di hadapan seorang anak yang memiliki penginderaan akan tetapi tidak memiliki satupun maklumat, kemudian kita suruh ia mengerahkan seluruh penginderaannya untuk mengindera benda-benda itu, maka ia tidak mungkin bisa memahaminya, meskipun penginderaan itu dilakukan berulang-ulang kali. Akan tetapi, jika ia diberi maklumat tentang benda-benda itu, kemudian ia disuruh mengindera benda-benda itu, tentu ia akan mempergunakan maklumat-maklumat tersebut dan segera memahami benda-benda itu. Meskipun umur anak ini semakin bertambah besar, hingga mencapai 20 tahun, akan tetapi ia tidak diberi satupun maklumat, maka ia akan tetap seperti semula. Ia hanya mengindera benda saja akan tetapi tidak bisa memahaminya, meskipun otaknya semakin membesar. Sebab yang memahami bukanlah otak, akan tetapi pengetahuan sebelumnya, bersama otak, dan fakta yang diinderanya. Siswa-siswa yang berada di laboratorium tidak mungkin memikirkan sesuatu yang ada di depannya, meskipun ia menginderanya dengan berbagai macam penginderaan, berjuta-juta kali, selama mereka tidak diberi maklumat tentang sesuatu itu…dan seterusnya. Sesungguhnya hanya dengan penginderaan terhadap fakta saja tidak akan mungkin akan tercipta pemikiran secara mutlak . Namun, agar tercipta sebuah pemikiran harus ada maklumat sebelumnya yang akan menafsirkan sebuah fakta. Di samping penginderaan, maklumat sebelumnya merupakan perkara yang harus ada agar tercipta sebuah pemikiran atau pemahaman. Tanpa maklumat sebelumnya tidak akan tercipta pemikiran secara mutlak.
Ini dari sisi pemikiran. Adapun dari sisi insting atau naluri, maka insting itu lahir dari naluri dan kebutuhan jasmani. Pada dasarnya, insting dan naluri dimiliki oleh manusia dan hewan. Jika apel dan batu disajikan berulang-ulang maka akan diketahui bahwa apel bisa dimakan, sedangkan batu tidak. Begitu pula dengan keledai. Keledai mengetahui bahwa rumput bisa dimakan sedangkan tanah tidak bisa dimakan. Namun demikian, insting semacam ini bukanlah pemikiran maupun pemahaman. Akan tetapi ia muncul dari naluri-naluri dan kebutuhan jasmani. Ia ada pada hewan dan manusia. Oleh karena itu, pemikiran tidak akan muncul kecuali jika ada maklumat sebelumnya, dan ada proses pemindahan fakta ke dalam otak melalui penginderaan. Atas dasar itu, akal, pemikiran, atau pemahaman adalah memindahkan fakta ke dalam otak melalui perantaraan indera, kemudian fakta tersebut ditafsiri oleh maklumat sabiqah (pengetahuan sebelumnya).
Mereka menyatakan bahwa manusia purba (awal) telah berinteraksi dengan materi, kemudian terjadi proses refleksi fakta melalui penginderaan. Akhirnya mereka bisa memahami bahwa buah ini bisa dimakan sedangkan buah itu tidak bisa. Selanjutnya ia bisa memahami bahwa binatang buas bisa melukainya; sehingga, ia menjauhi binatang ini. Ia juga memahami bahwa binatang itu tidak melukainya. Akhirnya, ia mempekerjakan dan menungganginya. Dengan percobaan dan penginderaan, ia bisa memahami bahwa kayu bisa mengapung di air. Selanjutnya ia menggunakan kayu itu untuk menyeberangi sungai. Ia juga memahami bahwa tidur di gua bisa melindunginya dari hujan dan dingin. Akhirnya mereka tinggal di dalam gua. Demikianlah, berdasarkan penginderaannya, manusia purba bisa menilai sesuatu dan mengaturnya sesuai dengan penilaiannya, atau sesuai dengan pemikirannya. Ini menunjukkan bahwa pemikiran adalah pemindahan fakta ke dalam otak melalui penginderaan tanpa membutuhkan keberadaan maklumat sebelumnya. Jawab atas statement itu adalah sebagai berikut; apa yang terjadi pada manusia purba adalah sesuatu yang tidak diketahui dan ghaib. Jadi, selama yang kita maksud pemikiran dan proses berfikir adalah hal-hal yang terjadi pada manusia modern, maka sesuatu yang tidak diketahui tidak boleh dianalogkan dengan sesuatu yang diketahui. Sesuatu yang ada juga tidak boleh dianalogkan dengan sesuatu yang tidak ada. Yang benar adalah sebaliknya, yaitu menganalogkan sesuatu yang tidak diketahui dengan sesuatu yang diketahui, sesuatu yang tidak ada dianalogkan dengan sesuatu yang ada. Walhasil, kita tidak boleh menganalogkan manusia yang ada dihadapan kita dan sudah kita kenal dengan manusia purba yang tidak ada dan tidak kita kenal, untuk mengetahui definisi pemikiran manusia sekarang. Kita bisa menganalogkan manusia purba dengan manusia sekarang untuk mengetahui definisi pemikiran dan pemahaman manusia sekarang, serta pemikiran dan pemahaman manusia purba. Oleh karena itu, pernyataan di atas adalah pernyataan yang sangat keliru. Adapun mengenai sejarah yang mengungkap tentang manusia purba, atau sebagaimana yang dinyatakan oleh manusia modern, ia hanya mengungkap tentang makanan manusia purba, dan penggunaan perkakas dari batu untuk mengupas buah, untuk berburu ikan, membuat rumah, serta untuk mengusir binatang buas. Keterangan ini seandainya benar, maka keterangan ini hanya berhubungan dengan pemenuhan terhadap naluri mereka dan tidak berhubungan dengan pemikiran. Dengan kata lain, ia hanya berhubungan dengan insting , tidak berhubungan dengan pemahaman. Dengan cara sekedar mengindera, atau mengulang-ulang penginderaannya, maka semua hal yang berhubungan dengan naluri-naluri hanya akan menghasilkan insting. Dari proses pengulang-ulangan penginderaan akan diketahui bahwa buah ini bisa dimakan, dan bagaimana cara mendapatkannya. Akan diketahui pula binatang yang bisa melukai, dan bagaimana cara menghadapinya. Ia akan memahami bahaya hujan dan dingin, dan bagaimana berlindung dari hujan dan dingin; yakni dengan cara masuk ke dalam gua atau membuat rumah. Semua ini terjadi dengan cara penginderaan dan pengulang-ulangan penginderaan. Kenyataan seperti ini terjadi pada hewan dan manusia. Percobaan pada kera dan setandan pisang adalah percobaan yang sangat terkenal. Setandan pisang digantung di langit-langit kamar. Di bawah langit-langit itu diletakkan sebuah kursi dan tongkat. Selanjutnya, kera dimasukkan ke dalam kamar itu. Kera melihat setandan pisang dan mencoba meraihnya dengan berbagai cara. Akan tetapi ia tidak bisa mencapai pisang. Ia berputar-putar di kamar, kemudian menemukan kursi. Ia perhatikan sejenak, kemudian ia naik ke atas kursi dan berusaha menjangkau pisang . Namun ia tetap tidak mampu menjangkau pisang. Ia berputar-putar di dalam kamar, dan akhirnya menemukan sebuah tongkat. Selanjutnya ia berusaha meraih pisang dengan tongkat itu. Akan tetapi ia tetap tidak bisa meraih pisang. Akhirnya, ia naik ke atas kursi dan dengan tongkat di tangannya ia berusaha menjangkau pisang . Setelah pisang itu jatuh ke lantai , ia segera turun dari kursi dan memakan pisang. Demikianlah, ia telah mempergunakan kursi dan tongkat , sehingga ia bisa menjangkau pisang. Apa yang dilakukan kera ini bukanlah pemikiran, akan tetapi insting yang berhubungan dengan naluri-naluri dan pemenuhannya. Hal ini cukup dilakukan dengan cara mengindera fakta dan mengulang-ulang penginderaan tersebut. Percobaan di atas mirip dengan percobaan tentang “dua ekor tikus yang mencuri telor. Percobaan ini juga merupakan percobaan yang sangat terkenal. Dua ekor tikus ketika hendak mencuri telor dari suatu tempat yang berlubang. maka seekor tikus tidur di atas punggungnya (telentang). Tikus yang lain berusaha mendorong telor, dan meletakkannya di atas perut tikus yang tidur itu. Selanjutnya ia mencengkeram telor itu dengan dua tangan dan kakinya. Tikus yang lain menarik ekor tikus yang tidur itu hingga berhasil membawa pergi telor dan meletakkan telor itu di luar. Selanjutnya ia masuk lagi ke dalam lubang untuk mengambil telor yang lain…..dan seterusnya. Walaupun ini adalah pekerjaan yang sangat sulit –tidak sederhana, namun ia terjadi secara langsung. Namun demikian, ini bukanlah pemikiran, akan tetapi hanyalah insting yang berhubungan dengan naluri-nalurinya. Keterangan-keterangan yang diketengahkan mengenai kehidupan manusia purba terkategori sebagai insting, bukan pemikiran. Di samping itu, definisi sebuah pemikiran harus bersifat pasti, tidak boleh meragukan. Sebab, definisi pemikiran ini akan digunakan sebagai asas segala sesuatu, dan di atasnya akan dibangun pengaturan terhadap fenomena dan materi. Walhasil, bukti yang membangun pemikiran harus yakin, tidak skeptis dan samar. Semua keterangan tentang manusia purba hanya disebutkan dalam sejarah. Sejarah bersifat skeptis tidak menyakinkan. Walhasil, ia tidak boleh dijadikan bukti untuk mendefinisikan sesuatu yang menyakinkan. Definisi akal, pemikiran dan pemahaman harus diambil dari bukti-bukti yang lebih tinggi daripada riwayat-riwayat sejarah. Semua memahami, sejauh mana keotentikan sejarah, perkakas serta materi-materi yang telah menjadi fosil; untuk mendiskripsikan pemikiran manusia purba serta untuk mendefinisikan pemikiran manusia modern. Akkan tetapi, semua itu tidak bisa diterima oleh akal. Sesuatu yang lebih tinggi daripada sejarah tidak boleh disandarkan sekedar kepada dokumen-dokumen sejarah maupun fosil-fosil manusia. Akan tetapi, yang menjadi topik kajian haruslah manusia modern yang bisa diindera dan disaksikan. Selanjutnya, dari pembahasan mengenai manusia modern ini disarikan definisi mengenai pemikiran. Jika kita memperhatikan dan menyaksikan tanda-tanda dan pengaruh-pengaruh yang tampak pada diri manusia, kemudian dikaji berdasarkan kondisi-kondisi dan variabel-variabel yang beragam, maka kita akan mendapatkan kesimpulan baku yang tidak akan berubah secara mutlak; bahkan akan menjadi sesuatu yang menyakinkan. Setelah itu, kita susun definisi akal, pemikiran, dan pemahaman. Dengan demikian, kita telah mendapatkan hakikat yang menyakinkan.
Kadang-kadang dinyatakan bahwa, ada seseorang yang melihat seseorang, namun ia tidak bercakap-cakap dengan orang itu. Orang itu juga tidak memiliki satupun maklumat sabiqah tentang orang itu. Kemudian orang itu pergi selama bertahun-tahun. Akan tetapi, ia melihat orang itu, dan segera mengenalinya. Pada kasus ini, seseorang bisa memberikan sebuah justifiksi (penilaian) terhadap seseorang hanya sekedar dengan melihat kembali orang yang pernah ia lihat bertahun-tahun sebelumnya. Jawab atas fakta di atas adalah sebagai berikut; Sebenarnya, proses penginderaan terhadap fakta itu terjadi di dalam otak, kemudian muncul “rekaman” di dalam otak. Jika sesuatu itu diperlihatkan sekali lagi melalui penginderaan yang sama, maka manusia akan kembali menginderanya seperti kondisi semula. Selanjutnya ia mengetahui bahwa orang tersebut adalah orang yang pernah ia lihat; dan ia bisa bersikap sesuai dengan ‘penginderaan kembali ini”. Misalnya, di hadapan bayi diletakkan sebuah lampu yang apinya diperbesar, hingga suhunya panas sekali. Bayi itu disuruh untuk menyentuhnya. Tentu, tangannya akan terbakar. Setelah beberapa lama, lampu itu kembali disodorkan di hadapan bayi, kemudian ia disuruh untuk menyentuhnya; pasti ia akan menolaknya. Sebab, penginderaan terhadap lampu itu terulang kembali, dan ia memahami bahwa lampu bisa membakar tangannya bila ia menyentuhnya. Demikian juga, seseorang yang pernah anda lihat, kembali anda lihat; maka anda akan segera mengenalinya kembali. Pengetahuan semacam ini bukan pemikiran, akan tetapi, hanya sekedar “penginderaan kembali”. Oleh karena itu, jika anda hanya melihat orang itu saja, namun anda tidak pernah mendengar suaranya, maka anda tidak akan mengenalinya jika anda berbicara dengannya. Anda juga tidak akan mengenalinya jika anda menyentuhnya. Anda tidak akan mengenalinya kecuali dengan menyaksikannya. Sebab, “penginderaan kembali” tidak akan terjadi pada laki-laki itu, akan tetapi terjadi pada penginderaan yang dinisbahkan kepada laki-laki itu. Jika kondisinya sesuai dengan apa yang pernah ia saksikan, maka akan terjadi proses “penginderaan kembali”. Adapun tindakan anda terhadap orang itu, jika itu berhubungan dengan naluri-naluri, semisal takut, makan, serta mempertahankan diri dan yang lain-lain, maka tindakan anda itu didasarkan pada pengulangan penginderaan tersebut. Persis seperti bayi yang menyentuh api lampu yang sangat panas. Adapun hal-hal yang tidak berhubungan dengan naluri-naluri, maka “penginderaan kembali” itu tidak akan pernah terjadi. Sebab, jika dinisbahkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan naluri-naluri, maka hal itu tidak melahirkan pemikiran. Akan tetapi, yang terjadi hanyalah “penginderaan kembali” saja. Penginderaan, pengulangan penginderaan, dan “penginderaan kembali” tidak membentuk pemikiran, akan tetapi hanya membentuk penginderaan belaka, tidak lebih. Pengetahuan yang terjadi hanyalah refleksi dari dari pengetahuan yang didapat melalui penginderaan saja. Tindakan yang dihasilkan hanyalah tindakan yang berhubungan dengan naluri-naluri. Semua ini bukanlah pemikiran. Akan tetapi penginderaan belaka, atau insting belaka.
Ada pula yang menyatakan, bahwa kadang-kadang ada seseorang yang diberi kendaraan yang bermasalah, dimana ia tidak memiliki maklumat sabiqah tentang kendaraan tersebut. Kemudian ia disuruh untuk memperbaiki dan mengendarainya. Kemudian, orang itu mengambil kendaraan tersebut, dan melakukan berbagai macam percobaan. Dari percobaan-percobaan itu akhirnya ia berhasil memperbaiki dan mengendarai kendaraan itu. Ia berhasil memperoleh pemikiran tanpa membutuhkan maklumat sabiqah. Jawabnya adalah, sesungguhnya orang tersebut memiliki maklumat yang sangat banyak. Kemudian, ia mengkaitkan berbagai macam percobaan yang dilakukannya dengan fakta yang tengah dihadapinya dan dengan maklumat yang ia miliki, sampai muncul maklumat yang bisa menjelaskan cara memperbaiki dan mengendarai kendaraan tersebut. Berdasarkan maklumat yang bisa menjelaskan kendaraan tersebut, akhirnya ia mendapatkan sebuah pemikiran. Walhasil, contoh ini tidak bisa digunakan sebagai contoh. Sebab, orang itu telah memiliki maklumat. Contoh yang bisa digunakan adalah bayi yang tidak memiliki maklumat apapun, atau seorang laki-laki yang tidak memiliki satupun maklumat yang bisa membantu dirinya untuk menciptakan maklumat-maklumat yang dapat menjelaskan sebuah fakta. Misalnya, orang Arab yang dimasukkan ke dalam laboratorium. Selanjutnya, ia dibiarkan melakukan percobaan. Atau, seorang ahli bahasa yang dimasukkan ke dalam reaktor atom. Kemudian ia disuruh untuk membuat bom hidrogen. Dengan demikian, mereka tidak memiliki maklumat, sehingga mereka tidak akan mendapatkan suatu pemikiran. Inilah contoh-contoh yang relevan, bukan orang yang memiliki maklumat yang memungkinkan dirinya untuk menggunakannya.
Atas dasar itu, telah terbukti secara menyakinkan, bahwa pemikiran tidak akan pernah tercipta kecuali dengan adanya maklumat sabiqah yang memungkinkan dirinya menafsirkan sebuah fakta. Sedangkan fakta saja, maka tidak mungkin –hanya melalui penginderaan saja—menghasilkan pemikiran apapun. Meskipun, penginderaan bisa saja melahirkan insting yang berhubungan dengan naluri-naluri. Penginderaan juga bisa menghasilkan proses “penginderaan kembali”, yang memungkinkan dirinya mengenali kembali apa yang pernah diinderanya. Namun, penginderaan saja sama sekali tidak menghasilkan “penilaian terhadap sesuatu”. Denga kata lain, penginderaan saja tidak akan menghasilkan pemikiran apapun. Walhasil, definisi yang paling benar mengenai pemikiran adalah,”Pemindahan fakta ke dalam otak melalui penginderaan, kemudian fakta itu ditafsirkan oleh maklumat sabiqah yang ada di dalam otak”.
Di sini tidak dibahas apakah fakta mendahului pemikiran, atau pemikiran yang mendahului fakta. Sebab, topik yang dibahas bukan mana yang mendahului yang lain, pemikiran atau fakta. Yang dibahas hanyalah apa definisi pemikiran itu, bukan mana yang mendahului dan mana yang terakhir. Jika dinyatakan bahwa pemikiran itu ada sebelum fakta, atau pemikiran itulah yang menciptakan fakta sebagaimana pendapat Hegel, maka ini adalah pernyataan yang salah. Kesalahan bisa dilihat dari sisi, bahwa pemikiran adalah penilaian atas suatu fakta. Penilaian terhadap fakta tidak akan pernah terjadi kecuali fakta itu telah ada tatkala terjadi proses penilaian. Walhasil, fakta harus ada tatkala terjadi proses berfikir. Dengan demikian, fakta bukanlah yang menciptakan pemikiran, akan tetapi ia harus ada ketika ada pemikiran, atau ia ada ketika terjadi aktivitas berfikir terhadap fakta. Tidak akan ada aktivitas berfikir kecuali ada fakta yang maujud ketika ada proses berfikir. Oleh karena itu tidak akan tercipta pemikiran kecuali ada fakta baginya. Selama tidak ada fakta baginya, maka ia tidak bisa disebut sebagai pemikiran secara mutlak. Akan tetapi, ia adalah khayalan dan utopia belaka. Adapun, jika yang dimaksud Hegel adalah Pencipta Yang menciptakan fakta dari ketiadaan; dan Ia ada sebelum fakta, maka pernyataan Hegel di atas benar. Sebab, fakta adalah sesuatu yang baru, sedangkan Pencipta adalah azali. Pastinya, pencipta itu mendahului fakta. Faktanya, Hegel tidak menyatakan seperti itu, akan tetapi yang dimaksud Hegel adalah pemikiran, proses berfikir. Dengan demikian, pernyataan Hegel di atas adalah pernyataan yang salah.
Jika dinyatakan bahwa fakta mendahului pemikiran, dan akal tidak lain kecuali adalah hasil dari materi yang paling tinggi, sebagaimana pendapat Engels, maka pernyataan ini juga salah. Kesalahan bisa dilihat dari sisi, bawa pemikiran adalah memberikan justifikasi (penilaian) kepada fakta. Penilaian (justifikasi) tidak akan terjadi kecuali ada maklumat sebelumnya tentang fakta tersebut. Maklumat ini merupakan bagian penting dalam pemikiran, hingga terjadi proses berfikir. Walhasil, keberadaan pemikiran sangat tergantung kepada keberadaan maklumat sebelumnya. Pembahasan mengenai, apakah pemikiran mendahului fakta atau setelah fakta, harus dikembalikan kepada “maklumat sebelumnya” sebagai faktor penting bagi terciptanya pemikiran. ‘Apakah maklumat sebelumnya itu mendahului fakta atau ada setelah fakta? Sebab, maklumat sebelumnya adalah pemikiran itu sendiri. Pembahasan terlebih dahulu harus ditujukan kepada maklumat sebelumnya; selama telah terbukti bahwa pemikiran tidak akan tercipta kecuali dengan adanya maklumat sebelumnya.
Maklumat ini belum pasti ada sebelum fakta. Bisa jadi ia ada sebelum fakta, atau setelah fakta. Sebab, jika terbukti bahwa materi adalah azali, maka maklumat sebelumnya pasti ada setelah fakta. Secara otomatis bisa disimpulkan, bahwa maklumat itu ada setelah materi. Berarti, pemikiran dan akal itu ada sesudah fakta. Adapun jika terbukti bahwa materi tidak azali, akan tetapi diciptakan oleh pencipta, secara otomatis keberadaan maklumat pertama (pengetahuan primer) bagi pemikiran pertama, harus ada sebelum materi. Maklumat ini pasti harus berasal dari pihak yang menciptakan materi. Berarti, Allah swt adalah pihak yang menyampaikan maklumat primer. Maklumat primer ini mendahului pemikiran pertama yang terjadi pada sebuah eksistensi. Selanjutnya, pemikiran ini memaknai fakta dan memberikan justifikasi. Agar terjadi proses berfikir, harus ada maklumat; dan agar pemikiran pertama terjadi, harus ada malumat yang eksis sebelum pemikiran pertama. Dalam kondisi bagaimanapun, pemikiran tidak akan pernah terjadi sebelum adanya maklumat tentang suatu fakta. Walhasil, maklumat pertama bagi pemikiran pertama pasti ada sebelum keberadaan fakta. Sebab, jika maklumat itu ada sesudah fakta, tentu akan terjadi pemikiran meskipun tanpa maklumat sebelumnya. Dengan kata lain, pemikiran pertama bisa terjadi tanpa maklumat sebelumnya, akan tetapi cukup berdasarkan fakta saja. Bila demikian, agar terjadi sebuah pemikiran tidak perlu lagi maklumat sebelumnya. Kesimpulan semacam ini adalah kesimpulan yang salah. Sebab, tidak akan terjadi pemikiran tanpa adanya maklumat sebelumnya. Oleh karena itu, maklumat pertama bagi pemikiran pertama, harus ada sebelum keberadaan materi (fakta). Ini disebabkan karena, pernyataan yang menyatakan bahwa keberadaan maklumat pertama bagi pemikiran pertama ada sebelum materi, telah menafikan adanya pemikiran awal yang mendahuluinya. Atas dasar itu, ketika terbukti bahwa materi diciptakan oleh pencipta, maka maklumat pertama bagi pemikiran pertama harus terjadi sebelum materi. Penetapan bahwa pemikiran tidak terwujud kecuali dengan adanya maklumat sebelumnya, juga telah menetapkan bahwa maklumat pertama bagi pemikiran pertama harus terjadi sebelum materi.
Adapun mengenai pemikiran-pemikiran yang muncul setelahnya, yakni, maklumat sabiqah yang ada pada pemikiran-pemikiran tersebut, dan yang tercipta karena adanya maklumat sebelumnya; maka pemikiran-pemikiran yang tercipta setelah pemikiran pertama, boleh jadi maklumat sabiqah yang telah melahirkan pemikiran tersebut telah ada sebelum materi, namun bisa juga ada setelah materi. Dalam kondisi seperti ini, tidak bisa dipastikan bahwa maklumat-maklumat tersebut terjadi setelah materi. Buktinya, hipotesa yang mendahului asumsi dan ujicoba pasti mengandung maklumat-maklumat sebelumnya mengenai materi yang hendak diuji coba. Setelah dilakukan ujicoba, materi kemudian diberi justifikasi (hukum) berdasarkan maklumat-maklumat sebelumnya. Oleh karena itu, tidak bisa dipastikan bahwa pemikiran itu ada setelah materi. Bahkan dalam kondisi apapun, masalah ini [lebih dahulu mana antara pemikiran dengan materi, ] bukanlah hal yang harus dibahas untuk menetapkan definisi pemikiran. Yang perlu dibahas adalah materi itu sendiri, apakah ia azali atau diciptakan; dengan kata lain, apakah alam semesta, manusia dan kehidupan itu azali ataukah diciptakan oleh pencipta, bukan membahas mana yang lebih dahulu, materi atau pemikiran. Oleh karena itu, pembahasan seperti ini bukan topik yang harus diperbincangkan.
Pertama, sebenarnya tidak pernah terjadi refleksi antara materi dengan otak. Otak tidak merefleksi atas materi, demikian juga sebaliknya. Materi tidak merefleksi atas otak. Sebab, refleksi (pemantulan) adalah pantulan materi yang direfleksikan dari sesuatu yang memantul. Refleksi pada sinar, misalnya, adalah pantulan sinar ke arah sebaliknya. Jika cahaya matahari jatuh ke atas tembok, maka cahaya itu akan menabrak tembok dan terpantul. Pemantulan ini disebut dengan refleksi. Jika sinar mendatangi cermin, maka sinar akan terpantul dari cermin. Refleksi adalah pemantulan materi atau potensi, dari sebuah organ. Kenyataan seperti ini tidak terjadi pada otak maupun kenyataan empirik. Otak tidak menabrak fakta, kemudian dipantulkan dari fakta. Fakta juga tidak menabrak otak, kemudian dipantulkan dari otak. Walhasil, tidak ada refleksi antara materi dengan otak secara mutlak. Oleh karena itu, pemikiran bukanlah refleksi materi atas otak. Sebab, refleksi antara keduanya tidak pernah terjadi, tidak akan terjadi, bahkan tidak mungkin terjadi sama sekali. Dalam kondisi apapun, tidak akan terjadi refleksi dari fakta empirik atas otak. Materi ketika berpindah ke dalam otak, tidak melalui proses refleksi, akan tetapi melalui penginderaan. Pemindahan materi menuju otak melalui penginderaan, secara otomatis akan menghasilkan penginderaan terhadap materi. Pemindahan materi ke dalam otak via penginderaan bukanlah refleksi materi atas otak, bukan juga refleksi otak atas materi. Akan tetapi, ia adalah penginderaan terhadap materi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara mata, serta indera-indera yang lain. Apa yang dihasilkan dari indera raba, penciuman, rasa, maupun pendengaran tidak ada ubahnya dengan penginderaan yang dihasilkan oleh penglihatan. Dengan demikian, yang terjadi adalah penginderaan terhadap materi, bukan refleksi materi atas otak. Manusia bisa mengindera suatu materi melalui panca inderanya, bukan melalui refleksi materi atas otaknya.
Apa yang terjadi pada penglihatan, juga bukan merupakan refleksi, akan tetapi pembelokan. Sinar akan membelok di dalam mata, kemudian mata mencitrakan gambar materi pada retina, bukan memantulkan dari luar. Pembelokan berbeda dengan refleksi. Perbedaan antara pembelokan dengan refleksi adalah; refleksi adalah memantulkan gambar ke luar, sedangkan pembelokan adalah pencitraan gambar di dalam. Gambar yang terlihat di dalam cermin merupakan pemantulan. Gambar akan tampak jika ada pantulan sinar kepadanya. Selanjutnya gambar akan dicitrakan. Ketika tidak ada sinar maka gambar itu tidak tampak. Pemantulan seperti ini terjadi pada sinar yang mengenai organ yang tidak memiliki sifat meneruskan cahaya kepada organ. Oleh karena itu, gambar tidak akan terlihat jika tidak ada pemantulan sinar. Pada kondisi seperti ini yang terjadi adalah pemantulan pada sinar bukan pada gambar. Sedangkan gambar adalah sesuatu yang dicitrakan. Oleh karena itu, tatkala gambar seseorang atau materi tampak pada mata orang lain, maka semua ini terlihat akibat adanya pemantulan sinar . Gambar-gambar tersebut tidak akan tampak jika berada dalam kegelapan. Selain itu, ini juga bukan pemantulan seseorang atau materi, akan tetapi pemantulan cahaya. Lebih dari itu, pemantulan seseorang atau materi tidak akan menghasilkan penglihatan. Jelaslah, bahwa gambar yang tampak di dalam cermin dan gambar yang tampak pada mata orang lain adalah aktivitas pemantulan, bukan aktivitas pembelokan. Yang mengalami pemantulan pada proses semacam ini adalah sinar yang mengenai organ yang tidak memiliki kecenderungan untuk meneruskan cahaya kepadanya; bukan gambar. Sedangkan penglihatan prosesnya bukan pemantulan, akan tetapi, sinar datang yang dari materi diteruskan pada mata. Selanjutnya akan muncul gambar di dalam retina mata, dan secara otomatis muncullah penglihatan. Walhasil, proses pemindahan fakta ke dalam otak melalui penginderaan mata bukanlah proses pemantulan, akan tetapi pembelokan (penerusan). Aktivitas pemantulan (refleksi) dari sisi refleksi itu sendiri, tidak pernah terjadi pada aktivitas berfikir dan tidak akan pernah terjadi. Dengan demikian definisi pemikiran dalam dialektika adalah definisi yang salah dan bertentangan dengan fakta.
Kedua, penginderaan saja tidak akan menghasilkan pemikiran, akan tetapi hanya menghasilkan penginderaan belaka. Dengan kata lain, hanya menghasilkan penginderaan terhadap fakta, tidak lebih. Penginderaan terhadap Zaid walaupun dilakukan berjuta-juta kali hanyalah penginderaan terhadap Zaid. Meskipun jenis penginderaannya banyak akan tetapi ia hanya menghasilkan penginderaan belaka, dan tidak akan menghasilkan pemikiran secara mutlak. Akan tetapi, untuk menghasilkan pemikiran, manusia harus memiliki maklumat sebelumnya yang akan menafsirkan fakta yang telah dicerap oleh indera. Bila seseorang yang belum memiliki satupun pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa Suryani, kita sodori buku berbahasa Suryani. Kita akan mendapati, ia akan melihat dan meraba buku itu. Meskipun penginderaan itu dilakukan jutaan kali, tetap saja ia tidak akan mampu memahami satupun kata, hingga diberi maklumat tentang bahasa Suryani, serta hal-hal yang berhubungan dengan Suryani. Setelah diberi maklumat, secara otomatis ia akan mulai berfikir dan memahami buku itu. Demikian pula, jika kita letakkan sepotong emas, tembaga, dan batu di hadapan seorang anak yang memiliki penginderaan akan tetapi tidak memiliki satupun maklumat, kemudian kita suruh ia mengerahkan seluruh penginderaannya untuk mengindera benda-benda itu, maka ia tidak mungkin bisa memahaminya, meskipun penginderaan itu dilakukan berulang-ulang kali. Akan tetapi, jika ia diberi maklumat tentang benda-benda itu, kemudian ia disuruh mengindera benda-benda itu, tentu ia akan mempergunakan maklumat-maklumat tersebut dan segera memahami benda-benda itu. Meskipun umur anak ini semakin bertambah besar, hingga mencapai 20 tahun, akan tetapi ia tidak diberi satupun maklumat, maka ia akan tetap seperti semula. Ia hanya mengindera benda saja akan tetapi tidak bisa memahaminya, meskipun otaknya semakin membesar. Sebab yang memahami bukanlah otak, akan tetapi pengetahuan sebelumnya, bersama otak, dan fakta yang diinderanya. Siswa-siswa yang berada di laboratorium tidak mungkin memikirkan sesuatu yang ada di depannya, meskipun ia menginderanya dengan berbagai macam penginderaan, berjuta-juta kali, selama mereka tidak diberi maklumat tentang sesuatu itu…dan seterusnya. Sesungguhnya hanya dengan penginderaan terhadap fakta saja tidak akan mungkin akan tercipta pemikiran secara mutlak . Namun, agar tercipta sebuah pemikiran harus ada maklumat sebelumnya yang akan menafsirkan sebuah fakta. Di samping penginderaan, maklumat sebelumnya merupakan perkara yang harus ada agar tercipta sebuah pemikiran atau pemahaman. Tanpa maklumat sebelumnya tidak akan tercipta pemikiran secara mutlak.
Ini dari sisi pemikiran. Adapun dari sisi insting atau naluri, maka insting itu lahir dari naluri dan kebutuhan jasmani. Pada dasarnya, insting dan naluri dimiliki oleh manusia dan hewan. Jika apel dan batu disajikan berulang-ulang maka akan diketahui bahwa apel bisa dimakan, sedangkan batu tidak. Begitu pula dengan keledai. Keledai mengetahui bahwa rumput bisa dimakan sedangkan tanah tidak bisa dimakan. Namun demikian, insting semacam ini bukanlah pemikiran maupun pemahaman. Akan tetapi ia muncul dari naluri-naluri dan kebutuhan jasmani. Ia ada pada hewan dan manusia. Oleh karena itu, pemikiran tidak akan muncul kecuali jika ada maklumat sebelumnya, dan ada proses pemindahan fakta ke dalam otak melalui penginderaan. Atas dasar itu, akal, pemikiran, atau pemahaman adalah memindahkan fakta ke dalam otak melalui perantaraan indera, kemudian fakta tersebut ditafsiri oleh maklumat sabiqah (pengetahuan sebelumnya).
Mereka menyatakan bahwa manusia purba (awal) telah berinteraksi dengan materi, kemudian terjadi proses refleksi fakta melalui penginderaan. Akhirnya mereka bisa memahami bahwa buah ini bisa dimakan sedangkan buah itu tidak bisa. Selanjutnya ia bisa memahami bahwa binatang buas bisa melukainya; sehingga, ia menjauhi binatang ini. Ia juga memahami bahwa binatang itu tidak melukainya. Akhirnya, ia mempekerjakan dan menungganginya. Dengan percobaan dan penginderaan, ia bisa memahami bahwa kayu bisa mengapung di air. Selanjutnya ia menggunakan kayu itu untuk menyeberangi sungai. Ia juga memahami bahwa tidur di gua bisa melindunginya dari hujan dan dingin. Akhirnya mereka tinggal di dalam gua. Demikianlah, berdasarkan penginderaannya, manusia purba bisa menilai sesuatu dan mengaturnya sesuai dengan penilaiannya, atau sesuai dengan pemikirannya. Ini menunjukkan bahwa pemikiran adalah pemindahan fakta ke dalam otak melalui penginderaan tanpa membutuhkan keberadaan maklumat sebelumnya. Jawab atas statement itu adalah sebagai berikut; apa yang terjadi pada manusia purba adalah sesuatu yang tidak diketahui dan ghaib. Jadi, selama yang kita maksud pemikiran dan proses berfikir adalah hal-hal yang terjadi pada manusia modern, maka sesuatu yang tidak diketahui tidak boleh dianalogkan dengan sesuatu yang diketahui. Sesuatu yang ada juga tidak boleh dianalogkan dengan sesuatu yang tidak ada. Yang benar adalah sebaliknya, yaitu menganalogkan sesuatu yang tidak diketahui dengan sesuatu yang diketahui, sesuatu yang tidak ada dianalogkan dengan sesuatu yang ada. Walhasil, kita tidak boleh menganalogkan manusia yang ada dihadapan kita dan sudah kita kenal dengan manusia purba yang tidak ada dan tidak kita kenal, untuk mengetahui definisi pemikiran manusia sekarang. Kita bisa menganalogkan manusia purba dengan manusia sekarang untuk mengetahui definisi pemikiran dan pemahaman manusia sekarang, serta pemikiran dan pemahaman manusia purba. Oleh karena itu, pernyataan di atas adalah pernyataan yang sangat keliru. Adapun mengenai sejarah yang mengungkap tentang manusia purba, atau sebagaimana yang dinyatakan oleh manusia modern, ia hanya mengungkap tentang makanan manusia purba, dan penggunaan perkakas dari batu untuk mengupas buah, untuk berburu ikan, membuat rumah, serta untuk mengusir binatang buas. Keterangan ini seandainya benar, maka keterangan ini hanya berhubungan dengan pemenuhan terhadap naluri mereka dan tidak berhubungan dengan pemikiran. Dengan kata lain, ia hanya berhubungan dengan insting , tidak berhubungan dengan pemahaman. Dengan cara sekedar mengindera, atau mengulang-ulang penginderaannya, maka semua hal yang berhubungan dengan naluri-naluri hanya akan menghasilkan insting. Dari proses pengulang-ulangan penginderaan akan diketahui bahwa buah ini bisa dimakan, dan bagaimana cara mendapatkannya. Akan diketahui pula binatang yang bisa melukai, dan bagaimana cara menghadapinya. Ia akan memahami bahaya hujan dan dingin, dan bagaimana berlindung dari hujan dan dingin; yakni dengan cara masuk ke dalam gua atau membuat rumah. Semua ini terjadi dengan cara penginderaan dan pengulang-ulangan penginderaan. Kenyataan seperti ini terjadi pada hewan dan manusia. Percobaan pada kera dan setandan pisang adalah percobaan yang sangat terkenal. Setandan pisang digantung di langit-langit kamar. Di bawah langit-langit itu diletakkan sebuah kursi dan tongkat. Selanjutnya, kera dimasukkan ke dalam kamar itu. Kera melihat setandan pisang dan mencoba meraihnya dengan berbagai cara. Akan tetapi ia tidak bisa mencapai pisang. Ia berputar-putar di kamar, kemudian menemukan kursi. Ia perhatikan sejenak, kemudian ia naik ke atas kursi dan berusaha menjangkau pisang . Namun ia tetap tidak mampu menjangkau pisang. Ia berputar-putar di dalam kamar, dan akhirnya menemukan sebuah tongkat. Selanjutnya ia berusaha meraih pisang dengan tongkat itu. Akan tetapi ia tetap tidak bisa meraih pisang. Akhirnya, ia naik ke atas kursi dan dengan tongkat di tangannya ia berusaha menjangkau pisang . Setelah pisang itu jatuh ke lantai , ia segera turun dari kursi dan memakan pisang. Demikianlah, ia telah mempergunakan kursi dan tongkat , sehingga ia bisa menjangkau pisang. Apa yang dilakukan kera ini bukanlah pemikiran, akan tetapi insting yang berhubungan dengan naluri-naluri dan pemenuhannya. Hal ini cukup dilakukan dengan cara mengindera fakta dan mengulang-ulang penginderaan tersebut. Percobaan di atas mirip dengan percobaan tentang “dua ekor tikus yang mencuri telor. Percobaan ini juga merupakan percobaan yang sangat terkenal. Dua ekor tikus ketika hendak mencuri telor dari suatu tempat yang berlubang. maka seekor tikus tidur di atas punggungnya (telentang). Tikus yang lain berusaha mendorong telor, dan meletakkannya di atas perut tikus yang tidur itu. Selanjutnya ia mencengkeram telor itu dengan dua tangan dan kakinya. Tikus yang lain menarik ekor tikus yang tidur itu hingga berhasil membawa pergi telor dan meletakkan telor itu di luar. Selanjutnya ia masuk lagi ke dalam lubang untuk mengambil telor yang lain…..dan seterusnya. Walaupun ini adalah pekerjaan yang sangat sulit –tidak sederhana, namun ia terjadi secara langsung. Namun demikian, ini bukanlah pemikiran, akan tetapi hanyalah insting yang berhubungan dengan naluri-nalurinya. Keterangan-keterangan yang diketengahkan mengenai kehidupan manusia purba terkategori sebagai insting, bukan pemikiran. Di samping itu, definisi sebuah pemikiran harus bersifat pasti, tidak boleh meragukan. Sebab, definisi pemikiran ini akan digunakan sebagai asas segala sesuatu, dan di atasnya akan dibangun pengaturan terhadap fenomena dan materi. Walhasil, bukti yang membangun pemikiran harus yakin, tidak skeptis dan samar. Semua keterangan tentang manusia purba hanya disebutkan dalam sejarah. Sejarah bersifat skeptis tidak menyakinkan. Walhasil, ia tidak boleh dijadikan bukti untuk mendefinisikan sesuatu yang menyakinkan. Definisi akal, pemikiran dan pemahaman harus diambil dari bukti-bukti yang lebih tinggi daripada riwayat-riwayat sejarah. Semua memahami, sejauh mana keotentikan sejarah, perkakas serta materi-materi yang telah menjadi fosil; untuk mendiskripsikan pemikiran manusia purba serta untuk mendefinisikan pemikiran manusia modern. Akkan tetapi, semua itu tidak bisa diterima oleh akal. Sesuatu yang lebih tinggi daripada sejarah tidak boleh disandarkan sekedar kepada dokumen-dokumen sejarah maupun fosil-fosil manusia. Akan tetapi, yang menjadi topik kajian haruslah manusia modern yang bisa diindera dan disaksikan. Selanjutnya, dari pembahasan mengenai manusia modern ini disarikan definisi mengenai pemikiran. Jika kita memperhatikan dan menyaksikan tanda-tanda dan pengaruh-pengaruh yang tampak pada diri manusia, kemudian dikaji berdasarkan kondisi-kondisi dan variabel-variabel yang beragam, maka kita akan mendapatkan kesimpulan baku yang tidak akan berubah secara mutlak; bahkan akan menjadi sesuatu yang menyakinkan. Setelah itu, kita susun definisi akal, pemikiran, dan pemahaman. Dengan demikian, kita telah mendapatkan hakikat yang menyakinkan.
Kadang-kadang dinyatakan bahwa, ada seseorang yang melihat seseorang, namun ia tidak bercakap-cakap dengan orang itu. Orang itu juga tidak memiliki satupun maklumat sabiqah tentang orang itu. Kemudian orang itu pergi selama bertahun-tahun. Akan tetapi, ia melihat orang itu, dan segera mengenalinya. Pada kasus ini, seseorang bisa memberikan sebuah justifiksi (penilaian) terhadap seseorang hanya sekedar dengan melihat kembali orang yang pernah ia lihat bertahun-tahun sebelumnya. Jawab atas fakta di atas adalah sebagai berikut; Sebenarnya, proses penginderaan terhadap fakta itu terjadi di dalam otak, kemudian muncul “rekaman” di dalam otak. Jika sesuatu itu diperlihatkan sekali lagi melalui penginderaan yang sama, maka manusia akan kembali menginderanya seperti kondisi semula. Selanjutnya ia mengetahui bahwa orang tersebut adalah orang yang pernah ia lihat; dan ia bisa bersikap sesuai dengan ‘penginderaan kembali ini”. Misalnya, di hadapan bayi diletakkan sebuah lampu yang apinya diperbesar, hingga suhunya panas sekali. Bayi itu disuruh untuk menyentuhnya. Tentu, tangannya akan terbakar. Setelah beberapa lama, lampu itu kembali disodorkan di hadapan bayi, kemudian ia disuruh untuk menyentuhnya; pasti ia akan menolaknya. Sebab, penginderaan terhadap lampu itu terulang kembali, dan ia memahami bahwa lampu bisa membakar tangannya bila ia menyentuhnya. Demikian juga, seseorang yang pernah anda lihat, kembali anda lihat; maka anda akan segera mengenalinya kembali. Pengetahuan semacam ini bukan pemikiran, akan tetapi, hanya sekedar “penginderaan kembali”. Oleh karena itu, jika anda hanya melihat orang itu saja, namun anda tidak pernah mendengar suaranya, maka anda tidak akan mengenalinya jika anda berbicara dengannya. Anda juga tidak akan mengenalinya jika anda menyentuhnya. Anda tidak akan mengenalinya kecuali dengan menyaksikannya. Sebab, “penginderaan kembali” tidak akan terjadi pada laki-laki itu, akan tetapi terjadi pada penginderaan yang dinisbahkan kepada laki-laki itu. Jika kondisinya sesuai dengan apa yang pernah ia saksikan, maka akan terjadi proses “penginderaan kembali”. Adapun tindakan anda terhadap orang itu, jika itu berhubungan dengan naluri-naluri, semisal takut, makan, serta mempertahankan diri dan yang lain-lain, maka tindakan anda itu didasarkan pada pengulangan penginderaan tersebut. Persis seperti bayi yang menyentuh api lampu yang sangat panas. Adapun hal-hal yang tidak berhubungan dengan naluri-naluri, maka “penginderaan kembali” itu tidak akan pernah terjadi. Sebab, jika dinisbahkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan naluri-naluri, maka hal itu tidak melahirkan pemikiran. Akan tetapi, yang terjadi hanyalah “penginderaan kembali” saja. Penginderaan, pengulangan penginderaan, dan “penginderaan kembali” tidak membentuk pemikiran, akan tetapi hanya membentuk penginderaan belaka, tidak lebih. Pengetahuan yang terjadi hanyalah refleksi dari dari pengetahuan yang didapat melalui penginderaan saja. Tindakan yang dihasilkan hanyalah tindakan yang berhubungan dengan naluri-naluri. Semua ini bukanlah pemikiran. Akan tetapi penginderaan belaka, atau insting belaka.
Ada pula yang menyatakan, bahwa kadang-kadang ada seseorang yang diberi kendaraan yang bermasalah, dimana ia tidak memiliki maklumat sabiqah tentang kendaraan tersebut. Kemudian ia disuruh untuk memperbaiki dan mengendarainya. Kemudian, orang itu mengambil kendaraan tersebut, dan melakukan berbagai macam percobaan. Dari percobaan-percobaan itu akhirnya ia berhasil memperbaiki dan mengendarai kendaraan itu. Ia berhasil memperoleh pemikiran tanpa membutuhkan maklumat sabiqah. Jawabnya adalah, sesungguhnya orang tersebut memiliki maklumat yang sangat banyak. Kemudian, ia mengkaitkan berbagai macam percobaan yang dilakukannya dengan fakta yang tengah dihadapinya dan dengan maklumat yang ia miliki, sampai muncul maklumat yang bisa menjelaskan cara memperbaiki dan mengendarai kendaraan tersebut. Berdasarkan maklumat yang bisa menjelaskan kendaraan tersebut, akhirnya ia mendapatkan sebuah pemikiran. Walhasil, contoh ini tidak bisa digunakan sebagai contoh. Sebab, orang itu telah memiliki maklumat. Contoh yang bisa digunakan adalah bayi yang tidak memiliki maklumat apapun, atau seorang laki-laki yang tidak memiliki satupun maklumat yang bisa membantu dirinya untuk menciptakan maklumat-maklumat yang dapat menjelaskan sebuah fakta. Misalnya, orang Arab yang dimasukkan ke dalam laboratorium. Selanjutnya, ia dibiarkan melakukan percobaan. Atau, seorang ahli bahasa yang dimasukkan ke dalam reaktor atom. Kemudian ia disuruh untuk membuat bom hidrogen. Dengan demikian, mereka tidak memiliki maklumat, sehingga mereka tidak akan mendapatkan suatu pemikiran. Inilah contoh-contoh yang relevan, bukan orang yang memiliki maklumat yang memungkinkan dirinya untuk menggunakannya.
Atas dasar itu, telah terbukti secara menyakinkan, bahwa pemikiran tidak akan pernah tercipta kecuali dengan adanya maklumat sabiqah yang memungkinkan dirinya menafsirkan sebuah fakta. Sedangkan fakta saja, maka tidak mungkin –hanya melalui penginderaan saja—menghasilkan pemikiran apapun. Meskipun, penginderaan bisa saja melahirkan insting yang berhubungan dengan naluri-naluri. Penginderaan juga bisa menghasilkan proses “penginderaan kembali”, yang memungkinkan dirinya mengenali kembali apa yang pernah diinderanya. Namun, penginderaan saja sama sekali tidak menghasilkan “penilaian terhadap sesuatu”. Denga kata lain, penginderaan saja tidak akan menghasilkan pemikiran apapun. Walhasil, definisi yang paling benar mengenai pemikiran adalah,”Pemindahan fakta ke dalam otak melalui penginderaan, kemudian fakta itu ditafsirkan oleh maklumat sabiqah yang ada di dalam otak”.
Di sini tidak dibahas apakah fakta mendahului pemikiran, atau pemikiran yang mendahului fakta. Sebab, topik yang dibahas bukan mana yang mendahului yang lain, pemikiran atau fakta. Yang dibahas hanyalah apa definisi pemikiran itu, bukan mana yang mendahului dan mana yang terakhir. Jika dinyatakan bahwa pemikiran itu ada sebelum fakta, atau pemikiran itulah yang menciptakan fakta sebagaimana pendapat Hegel, maka ini adalah pernyataan yang salah. Kesalahan bisa dilihat dari sisi, bahwa pemikiran adalah penilaian atas suatu fakta. Penilaian terhadap fakta tidak akan pernah terjadi kecuali fakta itu telah ada tatkala terjadi proses penilaian. Walhasil, fakta harus ada tatkala terjadi proses berfikir. Dengan demikian, fakta bukanlah yang menciptakan pemikiran, akan tetapi ia harus ada ketika ada pemikiran, atau ia ada ketika terjadi aktivitas berfikir terhadap fakta. Tidak akan ada aktivitas berfikir kecuali ada fakta yang maujud ketika ada proses berfikir. Oleh karena itu tidak akan tercipta pemikiran kecuali ada fakta baginya. Selama tidak ada fakta baginya, maka ia tidak bisa disebut sebagai pemikiran secara mutlak. Akan tetapi, ia adalah khayalan dan utopia belaka. Adapun, jika yang dimaksud Hegel adalah Pencipta Yang menciptakan fakta dari ketiadaan; dan Ia ada sebelum fakta, maka pernyataan Hegel di atas benar. Sebab, fakta adalah sesuatu yang baru, sedangkan Pencipta adalah azali. Pastinya, pencipta itu mendahului fakta. Faktanya, Hegel tidak menyatakan seperti itu, akan tetapi yang dimaksud Hegel adalah pemikiran, proses berfikir. Dengan demikian, pernyataan Hegel di atas adalah pernyataan yang salah.
Jika dinyatakan bahwa fakta mendahului pemikiran, dan akal tidak lain kecuali adalah hasil dari materi yang paling tinggi, sebagaimana pendapat Engels, maka pernyataan ini juga salah. Kesalahan bisa dilihat dari sisi, bawa pemikiran adalah memberikan justifikasi (penilaian) kepada fakta. Penilaian (justifikasi) tidak akan terjadi kecuali ada maklumat sebelumnya tentang fakta tersebut. Maklumat ini merupakan bagian penting dalam pemikiran, hingga terjadi proses berfikir. Walhasil, keberadaan pemikiran sangat tergantung kepada keberadaan maklumat sebelumnya. Pembahasan mengenai, apakah pemikiran mendahului fakta atau setelah fakta, harus dikembalikan kepada “maklumat sebelumnya” sebagai faktor penting bagi terciptanya pemikiran. ‘Apakah maklumat sebelumnya itu mendahului fakta atau ada setelah fakta? Sebab, maklumat sebelumnya adalah pemikiran itu sendiri. Pembahasan terlebih dahulu harus ditujukan kepada maklumat sebelumnya; selama telah terbukti bahwa pemikiran tidak akan tercipta kecuali dengan adanya maklumat sebelumnya.
Maklumat ini belum pasti ada sebelum fakta. Bisa jadi ia ada sebelum fakta, atau setelah fakta. Sebab, jika terbukti bahwa materi adalah azali, maka maklumat sebelumnya pasti ada setelah fakta. Secara otomatis bisa disimpulkan, bahwa maklumat itu ada setelah materi. Berarti, pemikiran dan akal itu ada sesudah fakta. Adapun jika terbukti bahwa materi tidak azali, akan tetapi diciptakan oleh pencipta, secara otomatis keberadaan maklumat pertama (pengetahuan primer) bagi pemikiran pertama, harus ada sebelum materi. Maklumat ini pasti harus berasal dari pihak yang menciptakan materi. Berarti, Allah swt adalah pihak yang menyampaikan maklumat primer. Maklumat primer ini mendahului pemikiran pertama yang terjadi pada sebuah eksistensi. Selanjutnya, pemikiran ini memaknai fakta dan memberikan justifikasi. Agar terjadi proses berfikir, harus ada maklumat; dan agar pemikiran pertama terjadi, harus ada malumat yang eksis sebelum pemikiran pertama. Dalam kondisi bagaimanapun, pemikiran tidak akan pernah terjadi sebelum adanya maklumat tentang suatu fakta. Walhasil, maklumat pertama bagi pemikiran pertama pasti ada sebelum keberadaan fakta. Sebab, jika maklumat itu ada sesudah fakta, tentu akan terjadi pemikiran meskipun tanpa maklumat sebelumnya. Dengan kata lain, pemikiran pertama bisa terjadi tanpa maklumat sebelumnya, akan tetapi cukup berdasarkan fakta saja. Bila demikian, agar terjadi sebuah pemikiran tidak perlu lagi maklumat sebelumnya. Kesimpulan semacam ini adalah kesimpulan yang salah. Sebab, tidak akan terjadi pemikiran tanpa adanya maklumat sebelumnya. Oleh karena itu, maklumat pertama bagi pemikiran pertama, harus ada sebelum keberadaan materi (fakta). Ini disebabkan karena, pernyataan yang menyatakan bahwa keberadaan maklumat pertama bagi pemikiran pertama ada sebelum materi, telah menafikan adanya pemikiran awal yang mendahuluinya. Atas dasar itu, ketika terbukti bahwa materi diciptakan oleh pencipta, maka maklumat pertama bagi pemikiran pertama harus terjadi sebelum materi. Penetapan bahwa pemikiran tidak terwujud kecuali dengan adanya maklumat sebelumnya, juga telah menetapkan bahwa maklumat pertama bagi pemikiran pertama harus terjadi sebelum materi.
Adapun mengenai pemikiran-pemikiran yang muncul setelahnya, yakni, maklumat sabiqah yang ada pada pemikiran-pemikiran tersebut, dan yang tercipta karena adanya maklumat sebelumnya; maka pemikiran-pemikiran yang tercipta setelah pemikiran pertama, boleh jadi maklumat sabiqah yang telah melahirkan pemikiran tersebut telah ada sebelum materi, namun bisa juga ada setelah materi. Dalam kondisi seperti ini, tidak bisa dipastikan bahwa maklumat-maklumat tersebut terjadi setelah materi. Buktinya, hipotesa yang mendahului asumsi dan ujicoba pasti mengandung maklumat-maklumat sebelumnya mengenai materi yang hendak diuji coba. Setelah dilakukan ujicoba, materi kemudian diberi justifikasi (hukum) berdasarkan maklumat-maklumat sebelumnya. Oleh karena itu, tidak bisa dipastikan bahwa pemikiran itu ada setelah materi. Bahkan dalam kondisi apapun, masalah ini [lebih dahulu mana antara pemikiran dengan materi, ] bukanlah hal yang harus dibahas untuk menetapkan definisi pemikiran. Yang perlu dibahas adalah materi itu sendiri, apakah ia azali atau diciptakan; dengan kata lain, apakah alam semesta, manusia dan kehidupan itu azali ataukah diciptakan oleh pencipta, bukan membahas mana yang lebih dahulu, materi atau pemikiran. Oleh karena itu, pembahasan seperti ini bukan topik yang harus diperbincangkan.