Selasa, 11 Januari 2011

Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera

Kemerdekaan Indonesia tidak didapat begitu saja, sebuah perjalanan panjang mengiringi kisah dramatis perjuangan merebut kekuasaan dari para penjajah, yaitu Portugis, Belanda, Jepang. Kisah-kisah dramatis tersebut tidak hanya di alami oleh beberapa masyarakat elit yang berada di negeri ini melainkan juga melibatkan rakyat di setiap perjuangan yang dilakukan. Bahkan tidak jarang terjadi perang saudara antara golongan elit dengan rakyat kecil.
Dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia serta dalam mempertahankan tegaknya NKRI rakyat memiliki peranan yang sangat besar akan terwujudnya hal itu. Sejarah yang panjang tentang perjuangan Rakyat telah di tulis oleh Anthony Reid, Anthony Reid seorang ahli sejarah dan banyak menulis tentang sejarah di Asia tenggara terutama di Indonesia. Salah satu tulisan yang menarik adalah tentang perjuagan Rakyat yang di Daerah Sumatra. Tulisan itu kemudian diberi judul Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. Pada buku ini Anthony Reid memberi sebuah gambaran dan menunjukkan bahwa rakyat benar-benar mengambil peranan penting di setiap perlawanan terhadap para penjajah dari masa-ke masa terutama di Sumatra.
Pada masyarakat Sumatra mulai zaman sebelum masuknya orang-orang eropa telah tertata sebuah sistem pemerintahan yang teratur yang merupakan warisan dari budaya hindu-budha dan terakulturasi oleh budaya Islam yaitu sebuah sistem kerajaan. Masing-masing daerah di Sumatra dipimpin oleh sultan-sultan yang memiliki daerah kekuasaan masing-masing. Masyarakat Sumatra sangat nyaman dengan kondisi seperti itu, bahkan mereka begitu menjunjung tinggi sistem tersebut. Kerajaan yang terdapat di Sumatra hidup dalam kondisi yang rukun, dan tentram, bahkan bisa dikatakan persatuan mereka sangat kuat. Karena sebagian sultan berasal dari satu rumpun yang sama yaitu melayu yang berasal dari percampuran suku-suku Batak, Minangkabau, Aceh dan unsur-unsur yang dominan dari India.
Masa Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda kerajaan-kerajaan ini dianggap mempunyai peranan yang penting, meskipun secara tidak langsung. Keputusan tersebut diambil karena masyarakat Sumatra sangat mengagungkan para sultannya. Pada dasarnya dari segi ekonomi maupun militer para raja-raja tersebut sangat tergantung dari orang-orang batak yang menguasai perkebunan, karena para raja-raja itu sesungguhnya wilayahnya tidak luas dan sultannya banyak jumlahnya mereka tak ubahnya seperti raja-raja kecil yang tidak punya apa-apa. Sepanjang sejarah mereka tidak bisa beridiri sendiri, mereka selalu bekerja sama dengan para pedagang asing serta para pendekar perdagangan yang berasal dari pribumi. Untuk memperkuat posisi raja-raja maka Belanda melakukan sebuah kerja sama yang pada dasarnya untuk mengeksploitasi tanah perkebunan Deli yaitu Domein Verklarin (sebuah sistem yang memberikan peluang kepada Belanda untuk mengatur seluruh tanah dalam wilayah kekuasaan sultan). Tugas sultan pun akhirnya mengatur tentang produsen-produsen dengan maksud menguntungkan mereka.
Kepentingan-kepentingan mereka itu dengan lantang ditentang oleh masyarakat Batak Toba dari pedalaman Asahan. Pertentangan itu dilakukan dalam bentuk gangguan-ganguan tanah yang telah diduduki oleh Belanda karena tanah yang telah diduduki itu adalah milik dari rakyat. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh Batak itu bisa diredam lewat perang Batak.
Kondisi daerah Sumatra Timur itu jauh berbeda dengan kondisi kerajaan Aceh. Kebijakan sebagai perantara antar produsen antar suku tidak dijalankan oleh Sultan-sultan Aceh. Meskipun berbagai strategi telah dilakukan oleh Belanda, tapi rakyat sebagai bagian dari kekuasaan tidak pernah setuju dengan berbagai kebijakan kerja sama sultannya dengan orang asing. Namun satu hal taktik yang berhasil diterapkan Belanda dalam menguasai Aceh adalah membuat perpecahan antar kerajaan yang berkuasa. Perpecahan itu dalam bentuk pengaturan distribusi hasil kebun, jika pada masa-masa sebelumnya dipusatkan ke ibukota dulu, tapi saat itu langsung ditangani oleh para uleebalaang. Jadi di sini ulu balang merupakan panjang tangan dari kolonialisme Belanda, sehingga tidak begitu mencolok. Karena selama ini Belanda kesulitan menaklukan aceh karena sebagian besar dari cara yang digunakan adalah cara kekerasan atau dengan cara peperangan.
Selama malakukan pertempuran dengan rakyat Aceh selama empat puluh tahun akhirnya Belanda bisa menaklukan Aceh, dan Acehpun jatuh di tangan Belanda. Pada pertempuran ini perjuangan rakyat aceh mengalami kerugian yang besar baik berupa materi mupun secara psikologi. Secara umum Aceh bisa dikatakan jatuh ditangan Belanda, Namun kondisi tersebut tidak mudah diterima begitu saja. Ketidak terimaan itu berbagai macam alasannya, seperti pembayaran pajak yang sangat besar, kebijakan wajib kerja, dan juga kerja rodi yang dicanangkan leh pemerintah sangat memberatkan, karena selama di bawah pemerintahan sultan mereka tidak pernah bayar pajak atau wajib kerja, yang ada hanya membayar cukai perdagangan. Dari hal itu seluruh lapisan masyarakat melakukan penyerangan-penyerangan, baik secara perorangan maupun kelompok dengan satu keyakinan yaitu mati syahid dan jaminan masuk surga. Penyerangan-penyerangan ini akhirnya semakin lama semakin menurun jumlahnya sehingga berhenti dan menerima kedudukan Belanda.
Selain penyerangan yang dilakukan langsung, terdapat pula masyarakat yang telah putus asa dan meyerahkan langsung masalah pendudukan Belanda itu kepada para uleebalaang. Untuk mempertahankan status quo Belanda di aceh maka mereka menggaet para uleebalaang. Maka pada posisi ini Belanda bagitu tergantung dari sepak terjang uleebalaang, untuk itu Belanda memberikan tanah-tanah yang tidak terurus dan uleebalaang berhak mengelolanya, selain itu para uleebalaang tersebut juga di iming-iming imbalan yang sangat besar. Dan hal itu menjadikan sebuah jurang pemisah dengan para rakyatnya. Dalam kasus ini maka berbalik, karena terjadi sebuah jurang pemisah maka huleebalaang kurang dipercaya oleh rakyat dan kurang mendapat dukungan. Untuk itu para uleebalaang memerlukan sokongan dukungan dari Belanda. Ketergantungan tersebut akhirnya membuat repot Belanda karena uleebalaang masih belum bisa mewujudkan perubahan yang diharapkan oleh Belanda yaitu sebuah sistem yang lebih modren dan masih berpatok pada sistem tradisional.
Terjadinya jurang pemisah antara rakyat dengan uleebalaang, menjadikan ketergantungan uleebalaang terhadap Belanda menjadikan pula hubungan yang mulai kendor atar ulu balang dengan Belanda pula. Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya kekuatan ekonomi tandingan yang lahir dari kalangan pribumi yaitu para pedagang yang sukses. Untuk itu Belanda mengeluarkan beberapa kebijakan untuk memecat beberapa uleebalaang.
Ketidakpercayaan rakyat terhadap uleebalaang semakin diperkuat dengan adanya berita di majalah bahwa para uleebalang itu dengan pangkat zelfbestuurder (semacam otonomi) maupun sejumlah besar uleebalang kecil telah ”dibeli” dengan gaji-gaji besar yang tidak wajar, selain itu banyak penyelewengan yang dilakukanterhadap hak-hak anak yaitm. Dari hal itu kemudian rakyat meminta dibentuknya sebuah sistem baru yaitu mencabut kekuasaan uleebalaang dan membuat dewan perwakilan rakyat. karena berita tersebut akhirnya para penulisnya dipenjara dan kampanye perubahan pun dihentikan.
Pada kasus hulu balang tidak seluruhnya bersedia bekerja sama dengan Belanda, ada beberapa huleebalaang yang karena dipercaya oleh rakyatnya maka ia tetap mengemban amanat untuk berjuang melawan Belanda dan tetap berjuan dalam tradisi yang murni. Hanya saja langkah mereka tidak bisa cepat karena jarak pemisah para uleebalaang yang saling berjauhan berkenaan dengan wilayah kekuasaan.
Di tengah-tengah kondisi dan posisi jajahan, suku-suku yang terdapat di Sumatra serta lapisan masyarakat yang timbul akibat penjajahan terjadi sebuah kesenjangan yang jauh. Pada abad ke-20 perbedaan status menjadi sangat penting bagi kehidupan di perkebunan terutama bagi kaum planter, mereka yang memiliki tanah yangluas dan harta yang melimpah dari hasil berkebun ternyata memiliki kegemaran suka hura-hura, bahkan mereka sangat angkuh terhadap orang pribumi. Mereka ini sangat sombong terhadap segala yang didapat adalah hasil kerja kerasnya, bahkan kemajuan Sumatra Timur adalah hasil dari pemikiran serta kerja kerasnya.
Jika di dalam perkebunan terdapat kaum plnter yang kaya maka yang miskin di dalam perkebunan adalah para kuli kontrak . kuli kontrak yang awalnya didatangkan dari china kemudian beralih dari jawa. Kuli kontrak ini bisa di bulang kehidupan nya baik, karena jaminan kesehatan begitu diperhatikan. Namun dari segi upah sangat rendah. Meskipun demikian yang membuat mereka paling tidak betah adalah mereka tidak memiliki kebebasan. Yangbisa membuat mereka bertahan hanyalah Poenale Sactie. Ketentuan itu berisi bahwa jika mereka kabur maka mereka akan didenda bahkan bisa dipenjarakan. Karena sebuah keterpaksaan dan tidak betah itu maka sering terjadi penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh para kuli kontrak terhadap mandor-mandor.
Kondisi yang dialami oleh kuli kontrak ternyata berbalik dengan nasib yang dialami oleh para raja di daerah itu. Para raja di sana hidup dalam kemewahan, istana mewah uang yang melimpah, mobil-mobil yang cantik. Segala bentuk kemewahan itu didapatkan oleh para raja ketika masa-masa pembukaan hutan dijadikan lahan perkebunan oleh kaum planter, ketika itu mereka menerima uang sogok, untuk memperlancar usaha para planter. Uang sogokan yang diterima raja tersebut kemudian membuat para raja tidak memperhatikan rakyatnya. Bagi pemukiman yang terkena gusur sebagai akibat perluasan lahan atau pembukaan lahan baru harus pinda dari tanah tersebut.
Meskipun tindakan-tindakan ini menambah penderitaan, ternyata hanya sedikit yang menimbulkan protes. Permasalahan-permasalahan masalah tanahpun mulai meruncing. Karena setelah harga tembakau menurun para planter mulai tidak senang dengan sitem pertanahan yang telah dibuat sendiri.padahal sistem pertanahan itu telah membuat sebuah kegelisahan bagi para petani. Kegelisahan itu nampak dari adanya sebuah tindakan yang representatif dengan melakukan hukuman bagi salah seorang kepala kampun yang telah menghasut supaya tidak membayar pajak dan tidak mau menerima kerja rodi. Namun suasana lebih yang membuat gelisah adalah adanya pembagian tanah yang dilakukan berdasarkan daftar yang telah ada dan penerima tanah itu rata-rata adalah orang-orang yang harusnya tidak mendapat akan hak tersebut. Menghadapai tekanan yang sedemikian rupa, pemimpin-pemimpin yang setia pada rakyat membuat sebuah kebijakan untuk menitik beratkan pada perjuangan koperasi dengan membeli pupuk dan menjual hasil tanamannya. Namun untuk masalah tanah masih belum bisa diperjuangakn dalam bentuk apapun.
Masa Kolonial Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang kondisi Sumatra dikendalikan dengan politik-politik kelas tinggi, yang menjakit diseluruh aspek masyarakat Sumatra. Hal pertama dilakukan pemerintah Jepang adalah merubah pemerintahan peninggalan Belanda, tapi tidak secara keseluruhan, hanya sebatas perubahan orang yang menempati saja. Apabila pada pemerintahan Belanda semua posisi pemerintahan diduduki oleh orang-orang Belanda maka pada zaman Jepang hanya posisi resident yang diduduki oleh Jepang sedangkan untuk asisten resident diserahkan pada peribumu yaitu para huleebalaang. Sedangkan untuk posisi para raja pada kerajaan yang terdapat di Sumatra, Jepang memberikan sebuah peningkatan martabat dari sebelumnya. Peningkatan itu berwujud adanya perwakilan dari para raja yang akan dekat dengan Jepang, perwakilan itu kemudian diserahkan kepada Sultan Asahan. Kebijakan Jepang dalam hal raja-raja mengakibatkan raja-raja yang lain kehilangan otonominya karena telah diatur oleh hanya satu orang sultan.
Hal yang selanjutnya adalah campur tangan Jepang terhadap politik Islam. Sebelumnya Jepang tidak terlalu ambil pusing tentang keberadaan Islam. Bagi orang-orang Jepang masalah agama harus dihindari. Namun yang terjadi penghindaran yang dilakukan oleh Jepang ternyata bersifat sangat jelek, mereka tidak menghargai norma-norma yang dijarkan dalam agama, bahkan ulama menuduh Jepang telah melakukan penistaan agama. Salah satu contohnya adalah orang-orang Jepang dengan seenaknya mandi di kali tanpa busana, dan masyarakat harus melakukan penghoratan ketika melintas di depan gedung yang ditempati oleh orang Jepang. Melihat perlakukan yang demikian maka golongan ulama tradisional yang dimotori oleh Abdul Djalil melakukan aksi penolakan dan bermaksud melakukan pemberontakan. Gerakan Abdul Djalil ini ternyata dengan cepat bisa di baca oleh Jepang. Sehingga Jepang melakukan sebuah aksi penyerbuan ke sekolah-sekolah agama dan juga ke masjid-masjid. Dari peristiwa ini untuk meredam dan timbulnya hal yang serupa Jepang mengundang seluruh ulama dan dihimpun dibawah pengawasannya, kemudian dimanfaatkan untuk melakukan propaganda-propaganda.
Kemudian demi menjaga keberadaan Jepang di Asia Pasifik, serta menunjukkan eksistensinya terhadap Amerika Jepang, Jepang melakukan Mobilisasi Militer. Salah satu hal yang dilakukan adalah merekrut pemuda-pemuda Sumatra yang aktif di dunia politik dijadikan tentara. Kesempatan ini didukung oleh Xarim M.S, karena dengan kesempatan tersebut pemuda akan mendapatkan latihan Militer dan bisa dimanfaatkan untuk perjuangan bangsa. Mobilisasi militer Jepang pada kahirnya karena situasi perang pasifik yang kurang mendukung Jepang maka strategi militer Jepang diarahkan pada pertahanan. Strategi bertahan ini kemudian membuat Jepang mengeluarkan untuk merekrut tentara sukarela (Giuyugun). Perekrutan dilakukan dengan terbuka dan dibatasi dengan persyaratan minimal pernah menempuh pendidikan sekolah dasar. Sama seperti yang lain perekrutan ini kemudian dilanjutkan dengan program-program latihan baik secara fisik maupun mental. Latihan dan perlakuan-perlakukan oleh Jepang terhadap pemuda itu kemudian membentuk sebuah pemikiran bagi para pemuda yang tergabung didalamnya tentang kesadaran persatuan dan kemerdekaan, sehingga mereka melakukan sebuah pemberontakan terhadap Jepang. Namun, pemberontakan tersebut tidak berlangsung lama karena Jepang segera melakukan tindakan dan menangkap keluarga pemberontak dengan tuntutan agar para pemuda menyerahkan diri, akhirnya mereka hanya di penjara.
Hadirnya giyugun ini tidak lepas dari sebuah pertisipasi politik yang diinginkan oleh para pejuangdiplomasi yang selam ini belum pernah terlibat dalam politik Jepang. Partisipasi selanjutnya yang nyata dan hasil dari sebuah politik adalah dibentuknya dewan-dewan penasihat di setiap Shu yang sebenarnya hanya bertugas hanya menjawab pertanyaan yang diajukan di setiap chokan dan tidak mempunyai kekuasaan untuk membikin undang-undang. Meskipun demikian dewan ini menekankan konsulidasi antar golongan elit kerajaan dengan politikus. Pada waktu yang bersamaan maka dibentuklah BOMPA yang kemudian digunakan sebagai alat propaganda bagi kaum politik.
Menjelang tahun 1944 telah menjadi jelas bahwa pengertian tentang partisipasi tidak mengundang suatu perubahan yang berarti pada imbangan kekuatan di dalam masyarakat Indonesia. Politik-politik yang dilancarkan tenyata tetap menjalankan kekuasaan lewat elit kerajaan tradisional, dan mempergunakan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang mereka percayai untuk tujuan-tujuan propaganda dan mobilisasi. Kemrosotan Jepang yang terus menerus di bidang militer dan tuntutan-tuntutan ekonomi yang mereka tekankan kepada Sumatra akhirnya berangsur-angsur menjurus kepada perubahan yang lebih mendasar.
Tujuan Jepang yang semula menjadikan Sumatra, sebagai sumber bahan mentah dan lapangan pasar bagi hasil-hasil industrinya telah hancur berantakan sepenuhnya, sebab ketiadaan kapal-kapal pengangkut, semua kapal telah dikerahkan hanya untuk tujuan militer. Untuk mengatasi hal tersebut politik ekonomi Jepang terpaksa mengadakan perubahan besar yang mkenyeluruh pada tahun 1943 ke arah swasembada, mencukupi kebutuhan sendiri bukan saja bagi Sumatera sebagai satu kesatuan tetapi pada masing-masing provinsi, bahkan pada setiap bunshu (kabupaten). Untuk menjamin bahan pangan militer Jepang penduduk kota hukum pasar semakin ditinggalkan, ditundukkan kepada pengawasan pemerintah yang keras wajib setor. Tetapi sasaran wajib setor ini tidak pernah tercapai meskipun hasil beras di daerah aceh melimpah, karena 50 persen dari hasil panen telah dijual terlebih dahulu kepada tuan tanah. Selain itu diduga pula para petani itu melakukan sebuah perlawanan diam-diam para petani terhadap setoran wajib dengan harga nominal. Beban lain yang ditimpahkan Jepang seperti tuntutan akan tanah terutama tenaga kerja, karena banyak tenaga kerja yang dikerahkan untuk melakukan kerja berat guna mengantisipasi kedatangan Sekutu di Sumatra. Pemerasan tenaga kerja ini memuncak pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Jepang 1944-1945 yang melancarkan kerja paksa secara besar-besaran. Pemerasan tenaga manusia yang kejam ini sudah barang tentu menciptakan kebencian yang mendalam dikalangan awam indonesia, baik dikota paupun di daerah pedesaan.
Dalam kondisi kerja paksa, kaum ulama yang paling diuntungkan, karena pada posisi tersebut mereka hanya bertugas untuk menjadi propaganda-propaganda dan tidak terlibat dalam konflik dengan uleebalaang. Para ulama ini menjalankan peranan tradisional, yang menyokong perlawanan kaum tani terhadap perintah-perintah yang berkuasa yang membawa mereka kepada sejumlah bentrokan dengan uleebalaang.
Di tengah kondisi yang serba sulit muncul kelompok baru yaitu Pusa. Kelompok ini mencari pengaruh ini rupanya beruntung mendapatkan seorang pelindung dalam diri Mayor Jenderal Iwakuro, kepala urusan umum di Gunseibu Sumatra yang berkedudukan di Bukittinggi sejak 1943. PUSA di sini memberikan banyakinformasi kepada Jepang seputar pemberontakan-pemberontakan yang ada terutama di Aceh. Dari berbagai informasi itu membuat PUSA sebagai pahlawan sedangkan uleebalaang merupakan golongan yang menyebabkan semua itu terjadi. Untuk memberikan sebuah kehormatan karena telah memberikan informasi tersebut maka PUSA dengan mengorbankan uleebalaang selama ini. penghargaan tersebut berupa terbentuknya suatu pengadilan yang seragam untuk Sumatra. Aoki sebagai pimpinan PUSA menyebutkan bahwa pengadilan ini lepas dari pengadilan kerajaan yang terlalu banyak campurtangan dari para uleebalaang, pengadilan itu berupa sebuah pengadilan yang sekuler dan Islam. Sebelum pengadilan-pengadilan itu resmi bekerja pada 1 Maret 1944, terdapat tiga syarat yang diajukan oleh Aoki, mereka yang diajukan sebagai staf harus mendapat dukungan dari rakyat, berpengetahuan tentang adat dan mempunyai keberanian untuk menolak campurtangan dari uleebalaang. Terbentuknya pengadilan Islam merupakan sebuah bentuk kemenangan secara simbolis yang besar bagi kaum muslimin yang terdapat di Aceh. Berdirinya pengadilan itu mendapat sebuah protes sendiri dari para uleebalaang untuk mengubah komposisi pengadilan-pengadilan sekuler tersebut.
Tekanan-tekanan ekonomi pada masyarakat tani di Sumatra Timur tidaklah begitu parah, sebagian disebabkan adanya sejumlah besar buruh perkebunan yang lain menganggur dan dapat dikerahkan untuk membikin jalan-jalan dan benteng-benteng pertahanan. Meskipun begitu, dikalangan pejabat-pejabat Jepang di Sumatra Timur seperti di Aceh, terdapat juga keinginan untuk menciptakan basis yang lebih kuat di pedesaan yang akan lebih menjamin bantuan, apalagi dalam menghadapi situasi militer yang semakin gawat. Usaha yang paling penting ke jurusan ini adalah yang dilakukan oleh letnan Inoue Tetsuro, dengan kerjanya yang orisinil.
Pada bulan Mei 1943 Inoue memutuskan untuk memusatkan seluruh daya dan tenaganya kepada sekolah barunya yang telah dibangun dan dinamakan Talapeta. Konsep sekolah ini sudah sangat bertolak dengan dasar pemikirannya yang bermaksud membuat pusat latihan pertanian, melainkan dikembangkan ke arah yang lebih luas yaitu mencetak kader-kader yang berdisiplin dan berjiwa militer Jepang. Apapun tujuannya kenyataannya adalah bahwa bangunan kader yang berdisiplin teguh ini telah menjadi basis yang ideal lagi bagi suatu perlawanan gerilya terhadap Sekutu yang dipersiapkan oleh jepang pada menjelang berakhirnya perang.
Pada permulaan tahun 1945, Inoue mendapat tugas membantuk suatu badan baru yang ditujukan untuk menumpas kegiatan orang-orang pro Sekutu terutama agen-agen derilyawan cina di malaya yang mereka tanam di Sumatra untuk mengadakan persiapan-persiapan bagi suatu kemungkinan pendaratan Sekutu. Kemudian inoue segera meresmikan apa yang dinamakan Kenkokutai Shintai (Barisan Pengabdi Pembagunan Tanah Air) dalam suatu upacara rahasia 20 Maret 1945. Dengan cara ini inoue dapat membangun satu kekuatan gerilya yang berakar pada kaum tani dan nelayan hingga sejumlah 50.000 orang. Jumlah pasukan yang sangat banyak kemudian menaruh perhatian dan menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat terutama di lingkungan kerajaan. Sehingga konflik-konflik yang terus berlanjut antara pengikut-pengikut kedua golongan.
Segala bentuk perlakuan dan kebijakan politik yang diambil Jepang membuat kebencian masyarakat semakin parah, karena banyak dikalangan rakyat yang menderita. Namun, pada tahun 1944 rakyat sedikit lega dengan adanya janji ”kemerdekaan pad waktu yang akan datang” dari perdana menteri Jepang. Meskipun ada janji yang demikian namun, hanya sedikit konsensi-konsensi yang disetujui oleh Jepang kecuali untuk mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Janji kemerdekaan dari Jepang nampaknya tidak disangsikan lagi hal itu selalu disebut-sebut disetiap pidato pejabat militer Jepang. Janji-janji tersebut dimanfaatkan oleh pejabat militer Jepang untuk dapat mencari simpati kembali dari rakyat. penarikan simpati itu dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan, salah satunya adalah pertemuan yang dilakukan di bukittinggi dan mengadakan sebuah perayaan disana. Perayaan itu dianggap oleh beberapa pemimpin konservatif sebagai sebuah propaganda omong kosong.
Rasa tidak percaya tersebut mendakan bahwa telah terjadi sebuah krisis yangterjadi di kubu Jepang sendiri. Kemudia hal itu dikuatkan kembali dengan nasip Jepang pada perang pasifik. Konsesi akan kemerdekaan sepertinya akan terwujud, dan nampaknya telah tumbuh bentuk kepemimpinan di seluruh daerah di Sumatra meskipun dalam kondisi rakyat yang menderita. Namun dalam kondisi tersebut salah seorang pemimpin Aceh justru mengadakan selamatan secara besar-besaran, kondisi ini membuat para penai marah, karena banyak petani yang kelapan, justru pemimpin disana melakukanpesta secara besar-besaran.


Sumatra Di masa Indonesia Merdeka
Nasib Sumatra memang sangat memperhatikan banyak sekali terjadi kerusuhan antar petani, bahkan tuntutan-tuntutan akan kemerdekaan tidak begitu kuat seperti halnya di jawa. Hanya sebuah langkah kongkrit adalah pembentukan dewan penasihat. Akhirnya sebuah hal yang mengharukan telah diputuskan di Jakarta tentang kemerdekaan Indonesia. Adanya kemerdekaan ini pun menjadi sebuah permasalahan baru di Sumatra berkaitan dengan siapa yang akan berkuasa atau menjadi pemimpin.
Permasalahan tersebut akhirnya menghadapkan dua golongan besar yaitu kaum pergerakan dengan para raja-raja. Karena pada kondisi ini raja telah dianggap akan mendukukung kedatangan Belanda. Selain itu nasib dari para pemuda bekas tentara-tentara Jepang juga tidak menentu, mereka dicibir oleh masyarakat sebagai penghianat terutama dari masyarakat miskin. Dari hal tersebut kemudian menjadikan sebuah semangat sendiri bagi para pemuda untuk segera bangkit dan membentuk sebuah organisasi, akhirnya mereka menghubungi Xarim. Organisasi-organisasi tersebut arahnya adalah untuk tetap menegakkan NKRI, yang arah perjuangan secara diam-diam atau gerakan Bawah Tanah.
Kesenjangan-kesenjangan dalam hal perebutan kekuasaan akhirnya memaksa Mr. Hasan untuk mengikuti strategi politik soekarno dalam mempengaruhi pihak kerajaan seperti di Jawa. Dan Hasan berencana mengangkat pejabat-pejabat yang berasal dari kerajaan meskipun dia mendapat tekanan dari para pemuda. Karena dengan pengankatan para sultan dan pengakuan atas hak sultan-sultan itu, akhirnya nanti akan menimbulkan pemerintahan republik akan selalu ditekan oleh hak otonomi mereka. Hal itu menimbulkan persatuan dikalangan pemuda untuk menolak hal tersebut, akhirnya front-front radikal pun bermunculan. Dan menekan para sultan-sultan yang telah berkuasa tersebut, supaya mengakui adanya republik.
Dibandingkan dengan daerah Sumatra Timur Aceh rupanya lebih siap dalam menyabut kemerdekaan, terbukti dengan adanya satu-satunya pemimpin yaitu Teuku Nyak Arif. Namun yang tetap menjadi masalah klasik adalah para uleebalaang dengan Rakyat. masalah itu pada masa kemerdekaan ini malah semakin keruh dan menimbulkan perang saudara, yang telah memakan banyak korban dan perang tersebut dinamakan perang Cumbok. Dari perang Cumbok sangat menunjukkan bahwa kekuasaan uleebalaang sudah melebihi batas, dari segi kekayaan, kehidupan mereka yang memiliki tentara untuk meyerang rakyat, merupakan sebuah bentuk penyelewengan dan sudah tidak memperhatikan rakyatnya, sibuk dengan urusan mencari makan sendiri dengan mengorbankan rakyat. Sehingga para ulama di Aceh dan pelajar-pelajar Islam memobilisasi kekuatan-kekuatan anti Cumbok. Kemudian mereka menyerukan akan melawan segala bentuk penghianatan di tanah air, oleh karena itu para pelajar dan ulama segera melakukan sebuah gerakan penghabisan kepada para Uleebalaang dan menangkap serta bila diperlukan membunuh mereka, harta para uleebalaang dirampas, sebagian untuk ganti rugi bagi yang telah disusahkan sedangkan yang lain di sumbangkan kepada tentara Republik. Penangkapan dan pembunuhan uleebalaang itu akhirnya membawa kearah sebuah perubahan terutama tentang sebuah sistem pemerintahan di tingkatan desa.
Apabila di Aceh terjadi jurang pemisah antara rakyat dengan uleebalaang, maka di Sumatra Timur maka terjadi perpecahan antara kelompok pemuda pejuang dan kaum kerajaan semakin parah. Pemuda sesunggunya memiliki kekuatan fisik namun mereka begitu terserai berai, sedangkan para raja tetap mempertahankan pemerintahannya yang samar-samar. Sebagai usaha untuk menghindari perpecahan di seluruh Indonesia terutama di kalangan pemuda maka dibentukla Komisi Nasional Indonesia Daerah. Terbentuknya KNI inimemberikan sebuah pengakuan dan kekuatan baru bagi tokoh-tokoh politik yang lebih mapan dan moderat. Dan memaksa para raja untuk mau tidak mau harus menerima pemerintahan Republik dengan Demokrasinya atau mereka harus menyingkir. Para raja pun kemudian setuju untuk hal tersebut, dan bersedia membentuk dewan-dewan perwakilan namun kesediaan itu adalah sebuah hal yang menyedihkan karena hanya sedikit diantara mereka yang datang menyetujui pembentukan dewan-dewan perwakilan rakyat. selain itu mekanisme-mekanisme dari dewan sendiri masih belum jelas, jadi revolusi itu rupanya masih sangat belum sempurna.
Dalam hal pengankatan pejabat republik yang semula didasarkan dari keluarga kerajaan untuk memdukung perjuangan republik berangsur semakin tidak cocok,hanya raja-raja yang mempunyai kadar politik yang besar dan memiliki hubungan dengan para pemuda yang bisa menjadi pemimpin republik di Sumatra. Akhirnya banyak keputusan dramatis yang harus diambil oleh para raja dengan terpaksa bergabung dan mendukung pemerintahan republik, selain menyumbang fikiran mereka juga bersedia menyumbang uang untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Tidak seluruh raja yang terdapat di Sumatra Timur bersedia dengan begitu saja bekerja sama dengan Republik, ada pula beberapa Raja yang masih menolak dan tidak turut bergabung. Namun, melihat situasi dan kondisi tekanan dari para pemuda dan sebagain besar rakyat, para raja itu pun mau mendapat perlindungan dari Republik dan mereka membuat pertemuan, pertemuan ini kemudia dimanfaatkan oleh Hasan supaya Raja-raja tersebut bersedia menerimanya, dan ia juga menegaskan bahwa republik juga akan tetap mengakui kerajaan yang ada. Kemudian dibahas pula bahwa yang akan menjadi pemimpin-pemimpin eksekutif adalah para raja di daerahny masing-masing.
Konferensi tersebut menempatkan masalah-masalah pendemokrasian kerajaan pada pusat perhatian dan kesadaran pemuda. Akibatnya semakin meningkatnya kebutuhan revolusioner yang mendesak untuk menyapu habis anarki kekuasaan kerajaan sebelum terlambat. Kebutuhan tersebut semakin diperkuat dengan adanya gagasan ”persatuan perjuangan” dari Tan Malaka yang menambah kembali dasar tentang adanya tuntutan revolusioner. Program ini pun sangat cocok dengan semangat pemuda. Persatuan perjuangan ini kemudia dimanfaatkan oleh Xarim untuk menghimpun kekuatan pemuda dan menjadikannya menjadi sebuah senjata revolusioner yang berdaya guna untuk menyisihkan pejabat-pejabat yang konservatif.
Gerakan persatuan perjuangan ini nampaknya begitu sangat radikal banyak sekali tuntutan yang dilancarkan kepada kerajaan baik berupa kritik maupun berupa serangan-serangan, serangan ini memang tidak raja secara langsung menjadi korban tetapi adanya pertarungan yang pro kerajaan melawan yang tidak prodengan kerajaan.
Garis permusuhan antar kaum radikal dengan pihak kerajaan sangat begitu nyata, telah terdapat sebuah usaha kudeta dengan alasan raja-raja itu mengancam tegaknya kemerdekaan, karena meraka telah menjalin hubungan tersendiri dengan para tentara Belanda. Kudeta akhirnya dilancarkan, dengan sasaran para sultan dan ini tidak begitu mendapat perlawanan, karena gerakan ini dilakukan pada 3 Maret malam, meraka menangkap dan mengasingkan ke Aceh Tengah. Bahkan mereka juga menggunakan taktik tahanan rumah dengan mengepung rumah raja dan tidak membiarkan meraka keluar. Selain itu mereka juga melakukan pengepungan-pengepungan terhadap istana Sultan karena Sultan tersebut di tuduh bekerja sama dengan Belanda yang akan sebentar lagi datang. Polisi yang mencoba melindungi istana justru dituduh ikut terlibat dengan pesekongkolan raja, akhirnya polisi tersebut menyerah.
Kudeta-kudeta yang dilancarkan terhadap para raja tersebut itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk merebut kekuasaan dari tangan para raja-raja. Apa yang mereka inginkan akhirnya menjadi sebuah kenyataan, beberapa dari raja yang ditahan dan diperlakukan di penjara rumah kemudia dibebaskan dan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan di depan rakyat. sementara perubahan kekuasaan secara otomatis juga terjadi, karena raja setempat ada yang mengalami trauma sehingga tidak berani keluar rumah.

Penutup
Revolusi yang terjadi di Sumatra itu menyabar menyambar pesertanya sebagai satu kekuatan tersendiri, dengan daya gerak dan kemauannya sendiri. Tidak peduli siapa yang menciptakannya. Ketika sampai pada titik yang nampaknya membuka kesempatan-kesempatan baru untuk melakukan sesuatu yang konstruktif, bukan kaum nasionalis, maupun kaum komunis dari bahwa, yang memiliki cukup kekuatan dan citra penggerak untuk memanfaatkannya. Revolusi Sumatra ini sangat khas dan berbeda dengan revolusi yang terjadi di Asia seperti, Vietnam dan China.
Revolusi di Sumatra itu sama membuat pemutusan total dengan kehidupan masa lalu yang beragam-ragam dan terbelah-belah itu. Stratifikasi yang ada kemudia dihancurkan dengan sebuah sistem hukum peradilan yang sejak dulu terus menerus telah digunakan oleh para penguasa untuk menguasai adat dan lembaga rakyat. Tuntutan yang bersifat tradisional telah dapat ditundukkan dengan kepntingan nasional yang bersifat Mutlak.
Ketiadaan kepemimpinan revolusi Sumatra itu berdasarkan syarat-syarat situasi dan kondisi sendiri telah memberikan kepada revolusinya suatu watak khusus yang bersifat spontan. Arah revolusi ini diarahkan pada perubahan sistem yang terdapat di pemerintahan tradisional Sumatra yang telah mendapat pengaruh dari sekularisasi Jepang dan Belanda.
Perubahan bahkan penghancuran yang dilaksanakan, telah membuka jalan pada suatu identitas baru,dapat dianggap sebagai sifat khas revolusi di Sumatra Utara dan sampai batas tertentu juga berlaku di seluruh Indonesia. Proses ini tidak secara mutlak memerlukan keterlibatan dai kaum Tani, sesungguhnya, dibeberapa daerah revolusi itu telah dilancarkan oleh pemuda-pemuda kota dan semimiliter tanpa membuka cakrawala baru apapun bagi mayoritas yang miskin dipedesaan.
Dinamika revolusi Sosial di Aceh ternyata tidak berjalan seirama dengan gerak persatuan yang ternyata menjadi sumber kekuatan revolusi nasional Indonesia secara keseluruhan. Kelas baru yang mencapai kekuasaan di Aceh, sampai ahli-ahli ilmu agama yang mendapatkan pendidikan Islam dan para pembaharunya terpisah jauh dari kaum profesional terpelajar berpendidikan Belanda yang memimpin pergerakan nasional di manapun juga.
Di Aceh, ideologi itu adalah Islam yang senantiasa menjadi sumber daya tenaga patriotisme orang aceh, sekali ulama mengatakan bahwa mempertahankan republik Indonesia, berarti perang yang dilakukan adalah perang suci. Martabat uleebalaang telah jatuh sejak segelintir orang tidak punya malu mengrigiti dan mengingkari rakyat. akibatnya perlawanan yang dilancarkan terhadap uleebalaang memberikan sebuah harapan baru untuk mendapatkan tanah-tanahnya yang dulu sempat dirampas dari keluarga-keluarga petani, uama mempelopori perlawanan para petani terhadap uleebalaang dan menghasilkan sebuah penyelesaian yang gemilang.