Dalam pendidikan karakter di lingkungan keluarga, Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral) dan moral action (perbuatan moral). Hal ini diperlukan agar anak mampu
memahami, merasakan dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif ia mengetahui, karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebajikan.
Untuk itu, orangtua tidak cukup memberikan pengetahuan tentangkebaikan, namun harus terus membimbing anak sampai implementasi dalam kehidupan sehari-hari lewat moral action yang diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan moral ini merupakan hasil dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally), maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit).
Menurut Swami Vivekanada, bila seseorang terus-menerus mendengarkan kata-kata buruk, berpikir buruk dan bertindak buruk, pikirannya akan penuh dengan ide-ide buruk, yang akan mempengaruhi pikiran dan kerjanya tanpa ia menyadarinya. Ia akan menjadi seperti sebuah mesin, yang memaksanya untuk berbuat jahat. Sebaliknya, jika seseorang berpikir baik dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik, total keseluruhan ide-idenya akan mendorongnya untuk berbuat baik.
Semangat Nasionalisme
Dalam hal itu, menarik untuk mengetengahkan pengalaman Bambang Sulastomo. Ia menceritakan bahwa anaknya yang bungsu sempat memperoleh pendidikan pre-school di Amerika Serikat. Setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak TK itu menghadap ke sebuah bendera AS, yang dipasang di
atas papan tulis. Anak-anak itu harus menyanyikan lagu sebagai berikut:
“Flag of America red, white and blue
Flag of America a salute we give to you”.
Ketika mengucapkan kalimat “Flag of America, red, white and blue”, mereka meletakkan tangan kanannya di dada sebelah kiri. Dan ketika mengucapkan “A salute we give to you” tangan kanannya memberi hormat pada bendera AS itu. Selain itu, lagu kebangsaan AS selalu dinyanyikan pada setiap
pertandingan olahraga. Tidak dengan musik, tetapi oleh seorang penyanyi, yang dengan khidmad dan khusuk menyanyikan lagu kebangsaannya. Kedua hal itu, rasanya hanya sekali-kali saja kita dengar di Indonesia. Itulah sebuah proses membentuk nation and character building sejak dini di Taman Kanak-Kanak.
Dari contoh kecil pada pendidikan tingkat TK itu saja, tampak bahwasemangat nasionalisme setiap bangsa itu tetap harus dijaga dan dipelihara. Artinya, pendapat Kenichi Ohmae dalam “Borderless World” yang menyatakan hapusnya negara-bangsa itu justru terbukti sebaliknya. Ternyata setiap negara maju pun tetap membina jiwa nasionalisme bangsanya agar tidak luntur.
Negara seliberal bahkan semaju apa pun sangat memegang teguh prinsip nasionalisme, baik dalam pengembangan ekonomi, pendidikan dan politiknya. Justru globalisasi itu dijadikan sarana untuk memperbesar kepentingan nasionalnya. Lebih jauh lagi harus dilihat bagaimana negara-negara maju di
Eropa melakukan nation building selama puluhan tahun, agar warga memiliki komitmen kebangsaan dan kenegaraan yang tinggi. Bahkan John F Kennedy juga mengajarkan: “Jangan bertanya apa yang diberikan negara kepadanmu, tapi bertanyalah apa yang bisa kamu berikan pada negara”.
Dengan cara itu sebenarnya Kennedy melakukan character building bagi kaum mudanya, agar memiliki komitmen pada nasionalisme bangsa sendiri. Sebaliknya sebagian kalangan intelektual kita berpandangan bahwa di tengah globalisme ini, nasionalisme sudah tidak penting. Bahkan menempatkan nasionalisme sebagai bentuk dogmatisme, lalu mengajak untuk perpaling padaglobalisme. Tampak bahwa cara berpikir ini hanya bersifat sekilas, tidak pernah
menembus ke inti persoalan.
Oleh sebab itu, character building warga negara perlu terus dilakukan agar mereka memiliki komitmen kebangsaan. Dan hanya dengan semangat kebangsaan itulah, generasi muda Indonesia akan memiliki pijakan yang kuat dalam menjalankan perannya di tengah-tengah tarikan percaturan global. Saya berharap, pembinaan watak kebangsaan ini hendaknya secara khusus memperoleh perhatian dalam RUU tentang Kepemudaan ini.
memahami, merasakan dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif ia mengetahui, karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebajikan.
Untuk itu, orangtua tidak cukup memberikan pengetahuan tentangkebaikan, namun harus terus membimbing anak sampai implementasi dalam kehidupan sehari-hari lewat moral action yang diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan moral ini merupakan hasil dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally), maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit).
Menurut Swami Vivekanada, bila seseorang terus-menerus mendengarkan kata-kata buruk, berpikir buruk dan bertindak buruk, pikirannya akan penuh dengan ide-ide buruk, yang akan mempengaruhi pikiran dan kerjanya tanpa ia menyadarinya. Ia akan menjadi seperti sebuah mesin, yang memaksanya untuk berbuat jahat. Sebaliknya, jika seseorang berpikir baik dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik, total keseluruhan ide-idenya akan mendorongnya untuk berbuat baik.
Semangat Nasionalisme
Dalam hal itu, menarik untuk mengetengahkan pengalaman Bambang Sulastomo. Ia menceritakan bahwa anaknya yang bungsu sempat memperoleh pendidikan pre-school di Amerika Serikat. Setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak TK itu menghadap ke sebuah bendera AS, yang dipasang di
atas papan tulis. Anak-anak itu harus menyanyikan lagu sebagai berikut:
“Flag of America red, white and blue
Flag of America a salute we give to you”.
Ketika mengucapkan kalimat “Flag of America, red, white and blue”, mereka meletakkan tangan kanannya di dada sebelah kiri. Dan ketika mengucapkan “A salute we give to you” tangan kanannya memberi hormat pada bendera AS itu. Selain itu, lagu kebangsaan AS selalu dinyanyikan pada setiap
pertandingan olahraga. Tidak dengan musik, tetapi oleh seorang penyanyi, yang dengan khidmad dan khusuk menyanyikan lagu kebangsaannya. Kedua hal itu, rasanya hanya sekali-kali saja kita dengar di Indonesia. Itulah sebuah proses membentuk nation and character building sejak dini di Taman Kanak-Kanak.
Dari contoh kecil pada pendidikan tingkat TK itu saja, tampak bahwasemangat nasionalisme setiap bangsa itu tetap harus dijaga dan dipelihara. Artinya, pendapat Kenichi Ohmae dalam “Borderless World” yang menyatakan hapusnya negara-bangsa itu justru terbukti sebaliknya. Ternyata setiap negara maju pun tetap membina jiwa nasionalisme bangsanya agar tidak luntur.
Negara seliberal bahkan semaju apa pun sangat memegang teguh prinsip nasionalisme, baik dalam pengembangan ekonomi, pendidikan dan politiknya. Justru globalisasi itu dijadikan sarana untuk memperbesar kepentingan nasionalnya. Lebih jauh lagi harus dilihat bagaimana negara-negara maju di
Eropa melakukan nation building selama puluhan tahun, agar warga memiliki komitmen kebangsaan dan kenegaraan yang tinggi. Bahkan John F Kennedy juga mengajarkan: “Jangan bertanya apa yang diberikan negara kepadanmu, tapi bertanyalah apa yang bisa kamu berikan pada negara”.
Dengan cara itu sebenarnya Kennedy melakukan character building bagi kaum mudanya, agar memiliki komitmen pada nasionalisme bangsa sendiri. Sebaliknya sebagian kalangan intelektual kita berpandangan bahwa di tengah globalisme ini, nasionalisme sudah tidak penting. Bahkan menempatkan nasionalisme sebagai bentuk dogmatisme, lalu mengajak untuk perpaling padaglobalisme. Tampak bahwa cara berpikir ini hanya bersifat sekilas, tidak pernah
menembus ke inti persoalan.
Oleh sebab itu, character building warga negara perlu terus dilakukan agar mereka memiliki komitmen kebangsaan. Dan hanya dengan semangat kebangsaan itulah, generasi muda Indonesia akan memiliki pijakan yang kuat dalam menjalankan perannya di tengah-tengah tarikan percaturan global. Saya berharap, pembinaan watak kebangsaan ini hendaknya secara khusus memperoleh perhatian dalam RUU tentang Kepemudaan ini.