Belum dapat diketahui secara pasti, pengaruh Islam masuk kewilayah Tuban. Berdasarkan Babad Tuban, Islam masuk antara kurun waktu 1432-1450, ditandai ketika Harya Dhikara (1432-1450) sebagai Bupati Tuban memeluk agama Islam. Sedangkan berdasarkan berita dari China yang ditulis oleh Ma Hua dalam sebuah pelayaran pada tahun 1413-1415, di pesisir Tuban telah terdapat orang-orang muslim dari barat, jawa dan tiong-hua. Mengingat besarnya peran pedagang dalam menyebarkan Islam, maka dapat diperkirakan pada 1413 Islam sudah masuk di Tuban.
Pada tahun 1413 atau kurun waktu 1432-1450 Islam masih belum dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat Tuban. Dalam tulisan Ma Hua juga dijelaskan bahwa masyarakat Tuban sebagian besar masih mengagumi kebudayaan Hindu-Budha. Sebagian besar diantara mereka masih menyembah berhala. Masyarakat Tuban terutama kaum bangsawan sangat tertarik pada hal-hal yang mengandung unsur mistik, jadi kurang begitu memungkinkan jika Islam disebarkan oleh para pedagang yang notabene masyarakat biasa.
Penyebaran Islam di Tuban secara intensif dan dapat diterima baru ketika jaman para Wali Sembilan mulai menyebarkan agama. Metode yang digunakan supaya ajaran Islam dapat diterima adalah dengan memasukkan kedalam unsur-unsur tradisi. Metode ini digunakan karena masyarakat Tuban sangat menjunjung tinggi adat dan istiadatnya, dengan cara ini Islam lebih muda diterima karena tidak mengubah adat dan tradisi yang ada.
Melihat karekteristik masyarakat Tuban, maka Sunan Ampel mengutus Sunan Bonang untuk menyebarkan agama Islam di Wilayah Tuban. Karena beliau adalah salah satu sunan yang mengerti tentang seni dan tradisi Hindu-budha.
Sunan Bonang
Sunan Bonang merupakan salah satu dari Sembilan wali penyebar Islam di jawa. Letak makamnya ada dikelurahan Kutorejo sebelah barat masjid agung Tuban. Sunan Bonang diperkirakan lahir tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdun Ibrahim. Beliau putra Raden Rahmat atau lebih dikenal Sunan Ampel dalam pernikahannya dengan Nyai Ageng Manila. Sunan Bonang juga dianugrahi gelar Raden Nyakra Kusuma oleh Wali Lanang.
Makdun Ibrahim sejak kecil telah dipersiapkan oleh sunan Ampel sebagai penyebar Agama Islam di Nusantara. Sunan Bonang sejak kecil telah diajari oleh Sunan Ampel tentang ajaran Agama Islam. Menginjak usia remaja beliau diutus oleh Sunan Ampel untuk belajar agama ke Pasai. Di Pasai Sunan Bonang bersama Sunan Giri berguru pada Syekh Awwalul Islam, beliau juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai, seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sepulang dari Pasai, Makdun Ibrahim diutus oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan Islam di Jawa terutama, Kediri, Lasem, Jepara, Tuban, Bawean dan Madura.
Sunan Bonang dan Sunan Giri memang belajar Islam bersama, namun dalam penyebaran Agama beliau berdua menggunakan teknik yang berbeda. Sunan Giri lebih bersifat ortodok, ajaran beliau condong pada ilmu fiqih, syariah, teologi. Sedangkan Sunan Bonang, tanpa mengabaikan Ajaran Islam menggunakan pendekatan Tasawuf dan kesusastraan. Beberapa sumber Sejarah Jawa termasuk suluk ciptaan beliau telah mencatat bahwa Sunan Bonang sangat aktif dalam kegiatan sastra, mistik, seni lakon, dan seni kriya.
Sunan Bonang dalam berdakwa, terkenal piawai mewarnai kondisi saat itu dengan corak ajaran Islam. Sehingga beberapa kegiatan yang sebenarnya bukan merupakan tuntunan dalam Islam, menjadi seperti ajaran Islam. Sunan Bonang juga menciptakan gending Darmo serta berusaha mengganti hari-hari naas menurut kepercayaan Hindu dan nama-nama Dewa Hindu digantinya dengan nama-nama Malaikat dan Nabi sesuai ajaran Islam. Kepiawaian Sunan Bonang juga dibuktikan dengan adanya suluk-suluk ciptaan beliau dengan bahasa prosa, yang berisikan tentang ajaran Islam. Kitap ini dinamakan Suluk Kangkung Sunan Bonang, dan kemungkinan berisikan ajaran-ajaran Sunan Bonang yang diberikan kepada murid-muridnya.
Kesemua metode yang digunakan oleh Sunan Boneng itu di dasari oleh ajaran Islam dengan filsafat ketuhanan Sunan Bonang. Adapun filsafat Sunan Bonang adalah, bahwa iman, tauhid dan makrifat itu terdiri dari pengetahuan yang sempurna, sekiranya orang hanya mengenal makrifat saja, maka belumlah cukup, sebab ia masih insaf akan itu. Maksud Sunan Bonang adalah bahwa kesempurnaan barulah akan tercapai hanya dengan terus menerus mengabdi kepada Tuhan. Seseorang itu tiada mempunyai gerakan sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan sendiri. Dan seseorang itu adalah seumpama buta, tuli dan bisu. Segala gerakannya itu datang dari Allah.
Metode dakwa yang digunakan Sunan Bonang sangat efektif dan tidak merubah tatanan tradisi yang telah ada. Tradisi Islam dan Hindu-Budha hidup saling berdampingan, bahkan tradisi Islam yang dibawa oleh Sunan Bonang berkesinambungan dengan tradisi Hindu yang sudah ada, seperti Nampak pada peninggalan kepurbakalaan Sunan Bonang. Hanya saja, semua tetap bernafaskan Islam.
Fakta Sejarah yang mendukung kesinambungan tradisi Islam Sunan Bonang dan tradisi Hindu adalah dengan ditemukannya Kalpataru pada komplek makam Sunan Bonang. Menurut Suwardjan dan Siti Alfiah yang disebut Kalpataru adalah sebuah karya bercabang lima dan berukir tersebut terlihat adanya bangunan yang dinaungi pohon-pohon. Bagunan tersebut antara lain bangunan rumah bertiang lima dan hiasan kepala binatang yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. Di samping itu juga terdapat relief suatu bangunan yang menyerupai bangunan jandi Jawa Timur. Bangunan itu mempunyai tangga masuk dinaungi pula oleh pepohonan. Pada cabang-cabang kayu terdapat naga yang melilit pada kayu tersebut, tetapi sudah dalam keadaan rusak dan rapuh.
Semasa Perjuangan menyebarkan Islam, Sunan Bonang dikenal sebagai pendukung utama Kerajaan Demak. Berkat Sunan Bonang pengaruh kesultanan Demak di Tuban semakin besar seiring bertambahnya penganut Islam di Tuban. Beliau juga memiliki jasa besar dalam mendirikan Masjid Agung Bintoro, Demak.
Masa Kesultanan Demak
Semakin besar masyarakat Majapahit yang memeluk islam, terutama di Tuban, Menjadikan kekuatan Majapahit semakin melemah. Karena daerah-daerah yang telah menganut Islam memilih bergabung ke Demak. Hal ini akan lebih menguntungkan karena Kesultanan Demak dengan mereka seiman dan diyakini membawa sebuah harapan baru untuk hidup sejahtera.
Besarnya penganut Islam dan banyaknya ahli agama di Tuban yang memiliki ilmu mistik seperti Sunan Bonang, memberikan suntikan moral bagi Tuban untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Majapahit. Sehingga ketika penyerangan Raden Patah ke Majapahit, Tuban di bawah kekuasaan Raden Haryo Tedjo ikut membantu Raden Patah untuk menyerang majapahit. Majapahitpun akhirnya jatuh ke tangan Demak, dan Tuban menjadi salah satu wilayah dari Demak.
Kehardiran Tuban bagi Demak memberikan keuntungan tersendiri, baik dari Ekonomi maupun kekuatan militer laut. Tuban kemudian di jadikan tempat perdagangan dan galangan kapal, karena geografis Tuban yang sangat strategis. Selain letaknya dekat laut, bahan baku pembuatan kapal juga banyak tersedia di Tuban. Hal ini menjadikan Tuban menjadi salah satu daerah terpenting, karena dari Tuban banyak menyuplai kapal untuk Demak.
Pada tahun 1413 atau kurun waktu 1432-1450 Islam masih belum dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat Tuban. Dalam tulisan Ma Hua juga dijelaskan bahwa masyarakat Tuban sebagian besar masih mengagumi kebudayaan Hindu-Budha. Sebagian besar diantara mereka masih menyembah berhala. Masyarakat Tuban terutama kaum bangsawan sangat tertarik pada hal-hal yang mengandung unsur mistik, jadi kurang begitu memungkinkan jika Islam disebarkan oleh para pedagang yang notabene masyarakat biasa.
Penyebaran Islam di Tuban secara intensif dan dapat diterima baru ketika jaman para Wali Sembilan mulai menyebarkan agama. Metode yang digunakan supaya ajaran Islam dapat diterima adalah dengan memasukkan kedalam unsur-unsur tradisi. Metode ini digunakan karena masyarakat Tuban sangat menjunjung tinggi adat dan istiadatnya, dengan cara ini Islam lebih muda diterima karena tidak mengubah adat dan tradisi yang ada.
Melihat karekteristik masyarakat Tuban, maka Sunan Ampel mengutus Sunan Bonang untuk menyebarkan agama Islam di Wilayah Tuban. Karena beliau adalah salah satu sunan yang mengerti tentang seni dan tradisi Hindu-budha.
Sunan Bonang
Sunan Bonang merupakan salah satu dari Sembilan wali penyebar Islam di jawa. Letak makamnya ada dikelurahan Kutorejo sebelah barat masjid agung Tuban. Sunan Bonang diperkirakan lahir tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdun Ibrahim. Beliau putra Raden Rahmat atau lebih dikenal Sunan Ampel dalam pernikahannya dengan Nyai Ageng Manila. Sunan Bonang juga dianugrahi gelar Raden Nyakra Kusuma oleh Wali Lanang.
Makdun Ibrahim sejak kecil telah dipersiapkan oleh sunan Ampel sebagai penyebar Agama Islam di Nusantara. Sunan Bonang sejak kecil telah diajari oleh Sunan Ampel tentang ajaran Agama Islam. Menginjak usia remaja beliau diutus oleh Sunan Ampel untuk belajar agama ke Pasai. Di Pasai Sunan Bonang bersama Sunan Giri berguru pada Syekh Awwalul Islam, beliau juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai, seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sepulang dari Pasai, Makdun Ibrahim diutus oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan Islam di Jawa terutama, Kediri, Lasem, Jepara, Tuban, Bawean dan Madura.
Sunan Bonang dan Sunan Giri memang belajar Islam bersama, namun dalam penyebaran Agama beliau berdua menggunakan teknik yang berbeda. Sunan Giri lebih bersifat ortodok, ajaran beliau condong pada ilmu fiqih, syariah, teologi. Sedangkan Sunan Bonang, tanpa mengabaikan Ajaran Islam menggunakan pendekatan Tasawuf dan kesusastraan. Beberapa sumber Sejarah Jawa termasuk suluk ciptaan beliau telah mencatat bahwa Sunan Bonang sangat aktif dalam kegiatan sastra, mistik, seni lakon, dan seni kriya.
Sunan Bonang dalam berdakwa, terkenal piawai mewarnai kondisi saat itu dengan corak ajaran Islam. Sehingga beberapa kegiatan yang sebenarnya bukan merupakan tuntunan dalam Islam, menjadi seperti ajaran Islam. Sunan Bonang juga menciptakan gending Darmo serta berusaha mengganti hari-hari naas menurut kepercayaan Hindu dan nama-nama Dewa Hindu digantinya dengan nama-nama Malaikat dan Nabi sesuai ajaran Islam. Kepiawaian Sunan Bonang juga dibuktikan dengan adanya suluk-suluk ciptaan beliau dengan bahasa prosa, yang berisikan tentang ajaran Islam. Kitap ini dinamakan Suluk Kangkung Sunan Bonang, dan kemungkinan berisikan ajaran-ajaran Sunan Bonang yang diberikan kepada murid-muridnya.
Kesemua metode yang digunakan oleh Sunan Boneng itu di dasari oleh ajaran Islam dengan filsafat ketuhanan Sunan Bonang. Adapun filsafat Sunan Bonang adalah, bahwa iman, tauhid dan makrifat itu terdiri dari pengetahuan yang sempurna, sekiranya orang hanya mengenal makrifat saja, maka belumlah cukup, sebab ia masih insaf akan itu. Maksud Sunan Bonang adalah bahwa kesempurnaan barulah akan tercapai hanya dengan terus menerus mengabdi kepada Tuhan. Seseorang itu tiada mempunyai gerakan sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan sendiri. Dan seseorang itu adalah seumpama buta, tuli dan bisu. Segala gerakannya itu datang dari Allah.
Metode dakwa yang digunakan Sunan Bonang sangat efektif dan tidak merubah tatanan tradisi yang telah ada. Tradisi Islam dan Hindu-Budha hidup saling berdampingan, bahkan tradisi Islam yang dibawa oleh Sunan Bonang berkesinambungan dengan tradisi Hindu yang sudah ada, seperti Nampak pada peninggalan kepurbakalaan Sunan Bonang. Hanya saja, semua tetap bernafaskan Islam.
Fakta Sejarah yang mendukung kesinambungan tradisi Islam Sunan Bonang dan tradisi Hindu adalah dengan ditemukannya Kalpataru pada komplek makam Sunan Bonang. Menurut Suwardjan dan Siti Alfiah yang disebut Kalpataru adalah sebuah karya bercabang lima dan berukir tersebut terlihat adanya bangunan yang dinaungi pohon-pohon. Bagunan tersebut antara lain bangunan rumah bertiang lima dan hiasan kepala binatang yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. Di samping itu juga terdapat relief suatu bangunan yang menyerupai bangunan jandi Jawa Timur. Bangunan itu mempunyai tangga masuk dinaungi pula oleh pepohonan. Pada cabang-cabang kayu terdapat naga yang melilit pada kayu tersebut, tetapi sudah dalam keadaan rusak dan rapuh.
Semasa Perjuangan menyebarkan Islam, Sunan Bonang dikenal sebagai pendukung utama Kerajaan Demak. Berkat Sunan Bonang pengaruh kesultanan Demak di Tuban semakin besar seiring bertambahnya penganut Islam di Tuban. Beliau juga memiliki jasa besar dalam mendirikan Masjid Agung Bintoro, Demak.
Masa Kesultanan Demak
Semakin besar masyarakat Majapahit yang memeluk islam, terutama di Tuban, Menjadikan kekuatan Majapahit semakin melemah. Karena daerah-daerah yang telah menganut Islam memilih bergabung ke Demak. Hal ini akan lebih menguntungkan karena Kesultanan Demak dengan mereka seiman dan diyakini membawa sebuah harapan baru untuk hidup sejahtera.
Besarnya penganut Islam dan banyaknya ahli agama di Tuban yang memiliki ilmu mistik seperti Sunan Bonang, memberikan suntikan moral bagi Tuban untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Majapahit. Sehingga ketika penyerangan Raden Patah ke Majapahit, Tuban di bawah kekuasaan Raden Haryo Tedjo ikut membantu Raden Patah untuk menyerang majapahit. Majapahitpun akhirnya jatuh ke tangan Demak, dan Tuban menjadi salah satu wilayah dari Demak.
Kehardiran Tuban bagi Demak memberikan keuntungan tersendiri, baik dari Ekonomi maupun kekuatan militer laut. Tuban kemudian di jadikan tempat perdagangan dan galangan kapal, karena geografis Tuban yang sangat strategis. Selain letaknya dekat laut, bahan baku pembuatan kapal juga banyak tersedia di Tuban. Hal ini menjadikan Tuban menjadi salah satu daerah terpenting, karena dari Tuban banyak menyuplai kapal untuk Demak.