Minggu, 08 Juli 2012

Perempuan Dalam Adat Jawa

Di Indonesia dikenal sistem patriarkis, meskipun terdapat variasi corak patriarki antar budaya. Salah satu masyarakat yang kental dengan kebudayaan patriarkis adalah Jawa. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan.


Perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). Perempuan pada masa kerajaan tidak diperkenankan menjadi pemimpin kerajaan. Di masa itu perempuan Jawa lebih banyak menjadi sasaran ideologi gender yang hegemonik yang menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.

Istilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti wani ditata (berani ditata). Pengertian ini telah mencirikan adanya tuntutan kepasifan pada perempuan Jawa. Sehingga muncul istilah - istilah putra mahkota (bukan putri mahkota), kawin paksa, dan babakan pingitan yang diberlakukan kepada perempuan yang akan menikah, istilah – istilah itu merupakan persoalan gender yang dihadapi perempuan Jawa.

Diawal pemilihan pasangan hidup, laki-laki Jawa disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Pemilihan calon istri sedemikian itu dimaksudkan supaya tidak bertentangan dengan istilah – istilah di kalangan masyarakat Jawa ketika membina sebuah rumahtangga. Karena didalam perkawinan terdapat istilah –istilah yang menggambarkan peranan perempuan dalam rumahtangga, istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur maupun di tempat tidur. Istilah itu akan mewarnai kehidupan perkawinan pasutri Jawa. Istilah swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut), perempuan diharpkan menjadi seseorang yang bersikap lembut, rela menderita, dan setia. Perempuan diharpkan dapat menerima segala sesuatu bahkan sepahit apapun. Selain itu, konsep swarga nunut, neraka katut menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri. Istilah – istilah tersebut menggambarkan bahwa perempuan harus menurut terhadap laki – laki.

Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi suami. Kalaupun kemungkinan untuk tampil tersedia, perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan suami.

Dilihat dari istilah – istilah perempuan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, pada dasarnya permpuan tidak menjadi kaum yang ditindas oleh laki – laki. Perempuan lebih memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari pada laki – laki, terutama di dalam rumahtangga. Istilah  konco wingking, pada prinsipnya tidak menjadikan wanita sebagai seseorang yang harus berada didapur maupun sekedar teman tidur. Pada istilah ini, wanita lebih berperan sebagai seorang manajer, yang bertugas mengatur pengeluaran dan pemasukan keuangan dalam rumah tangga. Perempuan memiliki peranan sebagai pengontrol jalannya keuangan rumah tangga. Istilah terebut menjadikan peranan istri semakin kuat dalam rumahtangga.

Selain istilah konco wingkin, terdapat pula istilah Sigaring Nyawa (Belahan Jiwa). Istilah Sigaring Nyawa lebih memiliki makna bahwa laki – laki dan perempuan memiliki peranan yang sama, laki-laki dan perempuan dua mahluk hidup yang saling melengkapi dan menyempurnakan rumahtangga. Istilah terebut menggambarkan kesejajaran yang lebih egaliter di kalangan perempuan Jawa.

Istilah Konco Wingking dan Sigaring Nyawa, pada prinsipnya menjadikan wanita menjadi pribadi yang berkuasa. Tapi, jika menilik dari dua pandangan yang berbeda atara peranan wanita yang sekedar sebagai teman di dapur dan di tempat tidur dan sebagai manajer rumahtangga, membuat perempuan tidak memiliki otoritas pribadi terhadap laki-laki maupun dalam rumah tangga, terlebih jika melihat konsep Suargo nunut neraka katut. Namun otoritas itu bisa saja muncul, hanya saja ia harus mencari cara agar kehendaknya terpenuhi tanpa mengacaukan harmoni dengan keluar dari tatanan budaya. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya. Jadi secara struktur formal, mereka terlihat tidak berpengaruh. Namun secara informal, pengaruh mereka sangat besar. Bahkan lama kelamaan suami yang akan tergantung kepada istrinya terutama secara emosional. Pada posisi inilah, perempuan Jawa akan banyak menentukan keputusan-keputusan dunia publik melalui suaminya.

Saat ini memang telah terjadi pergeseran kedudukan dan relasi gender masyarakat Jawa. Modernisasi, emansipasi perempuan, dan masuknya pengaruh budaya Barat, telah menggeser pola relasi gender mengarah kepada persamaan derajat dan kedudukan. Relasi gender ini semakin memberatkan posisi wanita dalam rumahtangga, karena mereka harus tetap menjadi manusia yang menjunjung tinggi budaya termasuk istilah – istilah Jawa dalam rumahtangga, supaya tetap mendapatkan kehormatannya dalam masyarakat terutama Jawa.